Merujuk pada Kota Muslim
Sebuah kota yang kita jumpai, sering memiliki keunikan sendiri, baik dari tata letak maupun rancangannya. Ini tentu tak terjadi dengan sendirinya. Namun ada sebuah nilai di dalamnya. Umat Islam ternyata telah menjadi pionir dalam meletakkan dasar-dasar rancangan dan tata letak kota. Tak heran jika kemudian para sejarawan maupun arkeolog menyimpulkan bahwa islam adalah agama urban. Pengajaran Islam banyak terpusat di daerah urban, yaitu daerah perkotaan. Oleh karenanya, dalam membangun sebuah kota umat Islam sangat menekankan pada bentuk dan rancangan yang selaras dengan ajarannya. Bentuk dan rancangan tersebut memiliki manfaat fungsional yang besar. Juga merupakan sebuah respons untuk memenuhi kebutuhan sosio-ekonomi dan budaya komunitas yang ada di dalamnya.
Penetrasi Islam ke berbagai wilayah di Asia, Afrika dan Eropa juga berdampak pada perkembangan masyarakat urban. Kita dapat merujuk pada kota-kota Muslim awal yang terbentuk di Maghreb, seperti Al-Fustat, Tunis, dan Rabat. Kota-kota tersebut memiliki peran dalam penyebaran ajaran Islam. Ia terbuka bagi para mualaf. Seperti Madinah yang terbuka bagi para imigran Makkah pada masa Nabi Muhammad. Maka kota tersebut mendapatkan juluka Dar-El-Hijra. Artinya sebuah tempat bagi Muslim untuk mempraktikan kehidupan Islami. Melalui kota-kota seperti itulah kemudian Islam menyebar ke seluruh Benua Afrika dan Eropa. Faktor yang menentukan dalam mengatur dan membentuk sebuah kota Muslim adalah pengaruh topografi, maupun fitur morfologi. Sebuah kota Muslim mencerminkan struktur sosio-kultural, politik, dan ekonomi dari masyarakat yang baru terbentuk.
Tata kota yang terencana
Secara umum faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan sebuah kota Muslim adalah dengan mengindahkan hukum alam. Artinya, untuk membentuk sebuah kota Muslim mesti beradaptasi dengan keadaan alam di mana kota itu berada. Baik kondisi cuaca maupun topografinya. Hal ini terlihat dengan adanya konsep halaman, teras, jalan kecil, dan kebun. Kemudian adanya bangunan yang menjadi pusat keagamaan atau budaya. Sebuah kota Muslim selalu menempatkan masjid sebagai jantung dari sebuah kota. Masjid yang merupakan jantung kota biasanya dikelilingi oleh suq (pasar), misalnya Masjid Zaitouna di Tunis dan Masjid Pusat di Isfahan. Pada Jumat, masjid ini juga menjadi pusat pengajaran agama. Kota-kota Muslim biasanya memisahkan antara bangunan publik dan privat. Ia dipisahkan dengan membuat jalan-jalan kecil di antara kedua jenis bangunan tersebut.
Oleh karenanya, aktivitas ekonomi, misalnya, yang menyangkut di dalamnya pertukaran dan kehadiran publik terpisah dengan bangunan pribadi, misalnya rumah. Aktivitas ekonomi ditandai dengan keberadaan pasar. Letaknya di luar masjid utama. Barang-barang akan didistribusikan sesuai dengan kegunaannya. Barang-barang yang terkait dengan keperluan ibadah, sajadah maupun parfum dijual di dekat masjid. Seperti juga buku. Sedangkan barang-barang lainnya akan dijual di tempat yang lebih jauh jaraknya dari masjid. Sementara bangunan privat merupakan kawasan rumah penduduk. Bangunan tersebut biasanya mengelompok berdasarkan kedekatan dan kepentingan para penghuni. Sementara bangunan pusat pemerintahan terlihat mencolok dibandingkan bangunan publik lainnya. Pusat pemerintahan yang disebut pula sebagai Casbah dikelilingi oleh tembok, kompleks perkantoran dan masjid. Semua rancangan tersebut berdasarkan hukum syariat. Melalui kota-kota seperti ini pulalah Islam kemudian menyebar, ke Afrika Utara, seluruh Benua Afrika, dan Eropa. Tentu kota tersebut memiliki peran religius. Namun sejak abad kesembilan, motif politik, sebagai upaya memisahkan diri dari kekuasan kalifah di Timur, lebih dominan.
Akibatnya, terjadi penurunan proses budaya urban. Keadaan tersebut terus terjadi hingga akhirnya fungsi religi dari sebuah kota benar-benar tercerabut. Terbentuknya sebuah ibu kota baru, selalu dicapai dengan meniadakan ibu kota lainnya. Sejarawan Muslim Ibn Khaldun berkomentar mengenai kejadian tersebut melalui karyanya, Muqadimmah. ''Lihatlah semua wilayah yang merupakan daerah pedesaan dan nomaden telah ditaklukkan dalam beberapa abad. Peradaban dan populasi telah hilang dari kehidupan mereka.'' Stabilitas belum tercipta kembali hingga kedatangan Dinasti Usmaniyah pada abad keenam belas. Usman mampu mengendalikan sebagian besar dunia muslim kecuali Persia, Arabia peninsula dan Maroko. Kekalifahan ini telah memberikan kedamaian, keamanan dan kemakmuran. Dan merupakan bahan bagi pertumbuhan dan pembentukan kembali masyarakat urban. Sekali lagi kota-kota baru banyak terbentuk dan meluas. Pada abad ketujuh belas seiring meningkatnya kekuatan imperium Eropa, peranan utama kota-kota itu berubah menjadi tempat penggalangan kekuatan militer.
Upaya ini telah menyedot sumber daya lokal serta mengakibatkan semakin menurunnya ciri khas budaya urban. Pada abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas, kota-kota Muslim mengalami bencana dengan menyebarnya penyakit yang mematikan. Kemudian kota-kota tersebut juga akhirnya jatuh ke tangan kolonial. Maka masuklah karakteristik morpologi, sosio-kultural dan ekonomi berkarakteristik Eropa. Fungsi sebuah kota Muslim pun hilang. Meski demikian, kota Muslim dengan fitur yang telah disebutkan di atas dengan fungsi sosial, politik dan tata letaknya dapat menjadi rujukan dalam perencanaan kota modern. Kota muslim dapat secara mudah diadaptasikan untuk menemukan fungsinya yang modern. Hal ini pernah dilakukan sejumlah sarjana seperti Abu-Lughod dan Hassan Fathi yang melakukan proyek di Mesir. Bahkan para arkeolog dan pakar kota menyatakan bahwa jalan-jalan yang ada di kota Roma, Italia terpengaruh oleh tata letak dan plot jalan-jalan yang ada di Maghreb (Tunis). ( fer/islamonline )
No comments:
Post a Comment