Sunday, June 25, 2006

[Fikrah]: Ruang Wanita Haidh


Ruang sholat khusus wanita/ perempuan pada sebuah masjid sudah menjadi lumrah adanya. Namun dengan ketentuan pemisahan (hijab) secara nyata (dinding penuh) maupun samar (dinding setengah) antara jamaah laki-laki dengan jamaah perempuan. Sebaliknya tak sedikit pula yang tidak menyediakannya. Baik di Indonesia maupun apa yang saya lihat di Jerman ini di beberapa masjid yang dimiliki komunitas bangsa Turki dan Arab. Tak heran ketika sholat Ied di masjid-masjid bangsa tersebut tak terlihat perempuan maupun anak-anak sedikitpun. Padahal bukankah pada hari raya itu kita dianjurkan oleh nabi untuk keluar dari rumah baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak, berkumpul untuk meramaikan sholat ied dan berhari raya bersama.

Namun di sini saya tidak ingin membahas tentang hal itu. Bahasan saya lebih ke kondisi wanita yang sedang haidh. Di mana kondisi mereka tidak memungkinkan (diharamkan) untuk berdiam di masjid, walau ada kebolehan untuk melintas saja dalam waktu yang singkat dan terpaksa ataupun darurat (misalnya terjadi bencana).

Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh." (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS An-Nisa': 43)
(Beberapa ulama juga memasukkan ayat ini sebagai ketentuan untuk wanita haidh)

Bagaimana dengan ikut sertanya wanita haidh dalam pengajian/ ta'lim di dalam masjid? Bukankah masjid tak hanya berfungsi untuk aktivitas ibadah saja namun selain itu juga untuk aktivitas mencari ilmu dan lain-lain.

Oleh karena itu di sinilah perlunya sebuah ruang untuk wanita haidh. Wujud ini telah diterapkan oleh beberapa masjid, terutama yang saya lihat di Masjid Daarut Tauhiid. Ruang ini terpisah dengan ruang sholat utama (ruang formal) dan disepakati serta diikrarkan oleh pengurus masjid dan jamaah sebelum pembangunan bahwa ruang tersebut bukan bagian dari ruang sholat utama yang suci di masjid. Wujudnya bisa terpadu (menempel) pada ruang sholat utama, baik itu dengan pemisah nyata ataupun samar, atau bisa terpisah jauh letaknya atau menjadi bangunan sendiri yang terpisah dari bangunan masjid.

Jalan keluar ini disepakati oleh beberapa ulama, namun juga ditentang oleh beberapa kalangan ulama, karena sekali ia bernama masjid maka ia tidak boleh didiami oleh wanita haidh maupun orang yang berjunub.

Dengan sedikit berlogika dalam persepsi ruang, bahwa wanita haidh bisa lalu lalang di parkiran masjid, tapi parkiran itu juga bisa dimanfaatkan untuk bersholat, terutama sholat ied. Maka ruang wanita haidh ini sebaiknya merupakan ruang yang bersifat sementara, tidak pasti, atau multi fungsi. Bisa berupa halaman/ serambi masjid, Ruang kelas pengajian (yang dihubungkan dengan alat audio-visual), ruang pertemuan/ serbaguna dan lain-lain, selama ia merupakan ruangan yang berbeda dari ruangan formal.

Dalam Kesulitan ada kemudahan. Namun bukan kemudahan yang kebablasan. Karena semua tetap ada ketentuannya.

(Sumber ketentuan: Eramuslim dan Syariah Online)

No comments: