Thursday, November 16, 2006

[Fikrah]: Eksistensi Mihrab dalam Masjid


Mihrab telah diterima oleh umum sebagai bagian dari masjid yakni sebagai ruang imam. Namun interpretasi ilmiah berkata lain dengan mengartikannya sebagai ruang penunjuk arah qiblat yang di adopsi dari bagian ruangan depan gereja atau kuil di Persia.

Mihrab sendiri dalam bahasa arab haraba berarti melawan atau berperang. Beberapa sejarawan menganggap bahwa istilah ini lebih berasal dari Persia yaitu lubang yang tidak tembus atau cekungan (niche) pada kuil Mithraistik.

Apakah mihrab menurut Qur'an dan Hadits?

Mihrab dalam Al Qur'an

Kata mihrab disebutkan tiga kali dalam Al Qur'an: QS. 3:37, QS. 3:39, QS. 19:11. Berikut petikan salah satu ayat:

''Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.'' (QS. Ali Imran (3) : 37)

Menurut penafsiran Dr. Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr. Muhammad Muhsin Khan dalam cetakan al Qur'an King Fahd Complex; Saudi Arabia, mihrab berarti tempat shalat (kecil) atau ruang privasi, namun bukan arah atau penunjuk tempat shalat apalagi ruang imam.

Mihrab dalam Hadits

Kata mihrab juga terdapat pada hadits berikut:

''Dari Wa’il bin Hujr radliyallahu 'anhu berkata, aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika bangkit menuju masjid maka beliau masuk ke mihrab. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. Kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Baihaqi)

Para ulama Hanafiah menjadikan hadits ini sebagai dasar mengapa ada mihrab dalam masjid. Mereka membolehkan mengadakan mihrab dengan apapun itu bentuknya, baik berupa cekungan, lubang yang tidak tembus (misykat) ataukah ruang imam yang jelas (dengan mengadopsi bagian altar gereja).

Beberapa Ulama yang lain memiliki interpertasi lain pada hadits tersebut, karena memang pada jaman Rasulullah saw tidak ada mihrab melainkan sutrah (tanda atau dinding qiblat). Mereka lebih mengartikan kata mihrab dalam hadits ini semata-mata sama dengan kata mushalla (tempat shalat), seperti istilah mihrab dalam al Qur'an, daripada sebagai ruang imam atau ruang atau tanda untuk arah qiblat (Mashalihul Mursalah).

Sebagian ulama yang lainpun tidak menyetujui kehadirannya di dalam masjid, dengan bersandar pada hadits berikut, namun didhaifkan oleh kalangan hanafiah:

Dari Musa Al Juhani berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Ummatku ini selalu berada di dalam kebaikan selama mereka tidak menjadikan di dalam masjid-masjid mereka seperti mihrab-mihrabnya orang-orang kristen.” (HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf)

Mereka memberikan pengecualian bersyarat untuk kasus di mana sutrah atau dinding qiblat tidak beda dari dinding lainnya sehingga tidak jelas arah qiblat harus ke mana. Mereka berpendapat jika sudah ada mimbar, maka mihrab tidak perlu, karena cukup dengan mimbar itu saja sudah bisa menjadi petunjuk arah qiblat tempat shalat. Jika tidak ada mimbar maka boleh membuat mihrab kecil ala kadarnya (tanda, garis, cekung atau lubang), tidak mirip altar gereja yakni dengan ruangan besar yang dalam untuk imam, sehingga imam tidak tampak dari sisi kiri dan kanan masjid oleh makmum. Dan mereka juga mengingatkan supaya mihrab yang dibuat tidak menjadi hiasan belaka tanpa membawa manfaat.

Wednesday, November 08, 2006

[Informasi]: Pandangan Keliru dalam Arsitektur Islam

Oleh : Ismail Raji A. Al Faruqi*

*"Banyak orang muslim dan non muslim yang meragukan fakta bahwa Islam sedikit banyak mempunyai hubungan dengan arsitektur. Keraguan mereka itu disebabkan karena mereka tidak tahu atau keliru, atau karena kedua-duanya (tidak tahu dan keliru)."*

Banyak orang muslim dan non muslim yang meragukan fakta bahwa Islam sedikit banyak mempunyai hubungan dengan arsitektur. Keraguan mereka itu disebabkan karena mereka tidak tahu atau keliru, atau karena kedua-duanya (tidak tahu dan keliru). Pertama, pihak yang tidak tahu : orang-orang muslim yang tidak menyadari bahwa :

1. Di seluruh Dunia Islam, kesatuan arsitektural merupakan satu segi dari kesatuan umat dibawah Islam. Sebelum kedatangan Islam, kesatuan arsitektural belum ada. Sebelumnya, gaya arsitektur dimana-mana saling berbeda. Kesatuan gaya justru muncul bersama Islam, yaitu : saat arsitektur khas Islam mulai mendominasi, dengan memperbolehkan munculnya variasi-variasi untuk hal non-esensial, sehingga gaya tersebut bisa menyesuaikan diri dengan iklim setempat, serta hal-hal istimewa peninggalan nenek moyang atau pakem adat istiadat.

2. Karakteristik gaya-gaya arsitektur yang terdapat di seluruh Dunia Islam dilengkapi dan diilhami oleh Islam. Seluruh standar arsitektural tepat guna pertama-tama diterapkan di Madinah, Baitul Maqdis, Dimasyq, Qayrawan, dan Baghdad, lalu menyebar ke seluruh Dunia Islam, seiring perkembangan dan penyebaran agama Islam.

3. Seperti halnya cabang seni rupa lain, arsitektur merupakan ekspresi keindahan umat Islam, sesuai dengan keunikan serta perbedaan pandangan mereka terhadap realitas, ruang, waktu, sejarah, sikap personal, serta hubungan organiknya dengan ?ummah.? Islam merupakan agama yang lengkap dan sangat komprehensif, baik pandangan hidup maupun kebendaannya. Pengaruh Islam meresap ke seluruh sendi kehidupan. Islam mengatur cara berpakaian, makan, istirahat, bermuamalah, bahkan bersantai atau rekreasi. Tentu saja hal itu sangat mempengaruhi, sangat menentukan kebiasaan manusia. Meskipun faktanya standar arsitektur Islam sepertinya hanya berlaku dalam pembangunan masjid ( dalam hal pemilihan dekorasi, desain atap, kerajinan kayu, sistem penerangan, corak permadani), namun bisa ditelusuri bahwasanya pola dasar tersebut mempengaruhi seluruh gaya arsitektur Islami.

Kedua, pihak yang berpandangan keliru, yaitu kaum muslimin serta para orientalis yang teguh pada tesis : ?Tak ada hubungan antara Islam dan arsitektur.? Menurut mereka, Islam hanya mengatur masalah peribadatan saja. Kelompok sekuler tersebut memandang Islam tidak dapat menentukan hal-hal yang berada diluar daerah religi (ibadat hubungan personal dengan Tuhan). Mereka membagi kehidupan menjadi dua : kehidupan religius dan kehidupan sekuler, sebagaimana tradisional Kristen memisahkan kerajaan Tuhan dan Kaisar, sehingga terjadi pemisahan kehidupan gereja dan negara. Mereka (kelompok sekuler) mengetahui bahwa ajaran Islam itu lengkap dan meliputi seluruh sendi kehidupan. Mereka sengaja berusaha untuk melemahkan hukum Islam, agar pengaruh-pengaruh keislaman yang memang universal dan berjangkauan luas bisa ditekan sedemikian rupa. Tampaknya mereka takut hukum Islam menyentuh hukum agama atau undang-undang sekuler mereka, sampai mencampuri etika berpikir serta estetika keseniannya. Kaum subversifpun mencoba menyingkirkan Islam dari kancah kegiatan manusia, dengan mengusung gagasan baru yang tidak islami, seperti : nasionalisme, kristenisasi, westernisasi, dan komunisme. Faktor gagasan baru tersebut berupaya menyimpangkan arsitektur sebagai ekspresi aspirasi manusia tertinggi dan termulia. Akhirnya, faktor-faktor itupun mengubah orientasi arsitektur menjadi hanya sebatas pengisi kebutuhan dasar dan kegunaan, atau menghubungkan tema-tema arsitektur dengan unsur alam- sejenis penyembahan berhala dari neo-Hellenisme- sebagai usaha peniruan secara membabi-buta terhadap Barat modern.

*Professor masalah pengkajian Dinul Islam di Temple University, Philadelphia,Pennsylvania, U.S.A

[Informasi]: Penemu Metode Arah Kiblat, Siapakah Dia?

Sumber: NU Online

Selama berabad-abad Muslim di seluruh dunia menjalan petunjuk dalam Al-Quran, agar menghadap Qiblat di Mekkah ketika sholat. “… Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya ….” (Alquran 2;144)

Namun, bagi umat Islam yang jaraknya ribuan mil dari kota Makkah, bukan hal yang gampang untuk menemukan arah yang benar untuk sholat atau arah Qiblat. Masalah ini sering menimbulkan kontroversi.

Beberapa mesjid di Kairo, Mesir mempertimbangkan dua arah Qiblat yang berbeda dengan besaran sudut sebesar 10 derajat antara arah satu dengan yang lain, bila diambil garis lurus dari dinding luar mesjid dan dari dinding dalam mesjid.Di Amerika Utara, umat Islam mengambil arah Timur Laut sebagai arah Qiblat, berdasarkan rute lingkaran besar ( jarak terpendek permukaan bumi ) ke arah kota Makkah, sementara umat Islam lainnya mengambil arah Tenggara.

Umat Islam yang hidup di abad pertengahan, menggunakan hitungan matematika yang canggih untuk memecahkan kesulitan dalam menentukan arah Qiblat, sebelum masyarakat Eropa berhasil menemukan metoda yang sama. Ketika orang-orang Eropa meyakini bahwa permukaan bumi rata, para ilmuwan Islam sudah membuat koreksi tentang lengkungan permukaan bumi. Dua bentuk alat yang berhasil ditemukan, membuktikan bahwa ahli matematika Islam pada saat itu jauh lebih maju. Peta dunia dengan pusat kota Makkkah, menunjukkan arah dan jarak ke kota Makkah, dari berbagai tempat di dunia bagi umat Islam di abad pertengahan, dan mereka sudah membuatnya dalam bentuk peta ‘timbul’ yang baru dikenal di oleh dunia barat pada abad ke-20.

Pakar sejarah dari Johann Wolgang Universitas Goethe di Frankfurt, Jerman, David King mengungkapkan,”Saya sudah melakukan penelitian tentang arah Qiblat selama 20 tahun, dan penemuan peta ini sangat mengejutkan saya”. Selama 10 tahun terakhir, King berusaha menemukan siapa pembuat peta-peta itu, dan siapa yang lebih penting siapa yang mendisainnya. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa peta-peta timbul tersebut dibuat dekat Isfahan, atau yang dikenal dengan negara Iran sekarang, pada saat pemerintahan dinasti Safavid (1502-1722). King meyakini, petak-petak pada peta yang menjadi bagian yang istimewa dari peta tersebut, sudah ditemukan berabad-abad sebelumnya.

Satu dari dua peta bersejarah itu muncul pada tahun 1989, dalam pelelangan di pusat lelang Sotheby, London. Peta yang kedua, dimiliki oleh seorang kolektor yang tidak bersedia disebutkan namanya, yang membeli peta tersebut dari seorang pedagang barang-barang antik di Paris pada tahun 1995. Kedua peta itu sangat mirip, dan diperkirakan berasal dari tempat pembuatan yang sama. Peta-peta tersebut memiliki lebar sekitar 9 inci, dan aslinya dilengkapi dengan 3 alat yaitu kompas, jam matahari, dan alat penunjuk berputar, yang menunjukkan arah dan jarak ke kota Makkah. Peta-peta itu juga menggambarkan garis lintang dan garis bujur, dimana garis lintang digambarkan dengan garis melingkar sedangkan garis bujur digambarkan dengan garis vertical. Lebih dari 100 lubang terdapat pada peta yang terbuat dari campuran tembaga dan timah itu, yang menunjukkan berbagai lokasi berbeda ke arah kota Mekah sebagai pusatnya. Karena fungsinya bukan sebagai alat navigasi, peta-peta penunjuk arah Qiblat itu tidak seperti peta yang kita kenal pada umumnya. Peta tersebut tidak memberikan keterangan daratan, lautan atau sungai.

“Hal itu tidak mengherankan, karena yang mereka butuhkan adalah keterangan tentang garis lengkung permukaan bumi dan motivasi untuk menemukan arah Qiblat,” ungkap seorang ahli sejarah matematika Len Berggren dari Universitas Simon Fraser di Vancouver, Canada. “Yang menjadi kejutan adalah ide membuat peta itu dalam bentuk menyembul,” tambahnya. Bukan hanya garis bujur dan garis lintang yang keduanya menjadi penemuan yang belum pernah terjadi di dunia Islam, tapi ukuran-ukurannya pun sangat tepat sehingga jarak ke kota Mekah dalam petunjuk tersebut, sesuai dengan jarak seperti yang ada sekarang. Kalau garis-garis itu hanya berupa garis lurus, maka teori untuk menemukan arah Qiblat pada peta itu tidak berlaku.

Menurut King, para pembuat peta di Isfahan tidak pernah mengerjakan bentuk lengkung dalam peta itu sendiri, mereka juga melibatkan pakar astronomi bukan para ahli matematika.

Lantas darimana model asli penunjuk Qiblat sebenarnya berasal ? Menurut perkiraan King, pada awal abad ke-19, para ahli astronomi Islam sudah merancang metode untuk menghitung arah Qiblat. Seiring dengan munculnya metode, King menduga peta-peta penunjuk arah Qiblat juga mulai dibuat. Sementara itu, rekan King di Universitas Goethe Francois Charette berteori, bahwa garis lengkung dalam peta untuk menerjemahkan bentuk sama dalam kartografi ( penggambaran peta ). Dugaan lainnya, peta itu didisain oleh seorang pakar yang sangat menguasai ilmu trigonometri. King memperkirakan pelopornya adalah Abu ‘I-Rayhan Al-Biruni (973-1048) ilmuwan Islam abad pertengahan yang hidup di Ghazna, (sekarang Afghanistan) yang juga menulis sejumlah bukun yang sangat berpengaruh, yang membahas secara mendalam tentang Qiblat.

Namun dalam katalog yang dibuat oleh balai lelang Sotheby, saat pelelangan peta itu menuliskan bahwa peta-peta itu merupakan inspirasi bangsa Eropa Barat, dan instrumen bersejarah itu adalah bukti dari hasil asimilasi ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa dan teknologi di Persia pada abad ke-18. Namun interpretasi itu dibantah keras oleh King, dengan mengacu pada bentuk fisik dan bukti sejarah. King berargumentasi, meski para pakar matematika Eropa juga melakukan penelitian untuk menemukan arah Qiblat, ada kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa formula tentang bagaimana menemukan arah Qiblat sudah dilakukan oleh ilmuwan Islam pada abad ke-9. Tidak ada bukti para ilmuwan Eropa yang ada di Persia pada saat itu membawa alat seperti peta dengan kota Mekah sebagai pusatnya.

Sampai hari ini, tidak ada petunjuk lain yang memberi titik terang tentang dari mana sebenarnya asal peta penunjuk arah Qiblat itu berasal. Masalahnya, banyak naskah-naskah dalam bahasa Arab yang tidak dipelajari dan dikatalogkan di perpustakaan-perpustakaan di dunia. Naskah-naskah it bisa jadi memuat keterangan-keterangan bagaimana umat Islam pada jaman dahulu menentukan arah Qiblat, dengan metode yang belum dikenal sebelumnya. (MA/ln/islamicity)

[Artikel]: Menghias RumahNya

Oleh: Fauzia Dwi Anggraini, Balikpapan

Sebuah mesjid saat ini ramai diangkat sebagai berita di saluran TV. Mesjid ini menjadi berita karena kabar kemegahannya. Berada dalam kompleks seluas 10 ha, dihiasi dengan kubah terbuat dari emas dan pilar-pilar yang terbuat dari marmer, cukup dapat membuat tercengang setiap orang yang melihatnya.

Melihat mesjid ini, timbul pertanyaan yang sedikit menggelitik benak saya. Apakah pantas membuat sesuatu yang terlihat mewah, megah dan mahal ketika masih ada mereka yang fakir disekitarnya? Apakah ini bukan yang dinamakan berlebih-lebihan, walaupun ditujukan untuk menghias rumahNya?

Contoh lain sebuah masjid di bilangan Kebayoran Baru, dimana lantai 2 yang menjadi tempat bagi jamaah muslimah terasa amat sangat panas akibat aliran udara yang tidak lancar. Aliran udara terhambat akibat lubang-lubang yang sedianya menjadi ventilasi aliran udara ditutup dengan kaca patri beraneka warna ornament hiasan masjid. Disatu sisi menyuguhkan keindahan secara visual, di sisi lainnya justru menurunkan nilai fungsi si lubang ventilasi tadi sehingga menghambat kegiatan ibadah didalamnya.

Selain itu banyak masjid yang dari luar terlihat megah dan dihias dengan indah tetapi memiliki fasilitas kamar mandi dan berwudhu yang cukup memprihatinkan. Banyak keran air ditempat wudhu yang rusak atau bocor, pintu kamar mandi yang telah jebol atau bahkan aliran air buangan yang menggenang. Berwudhu dimana menjadi salah satu bagian penting dalam ritual beribadah seharusnya mendapatkan fasilitas yang lebih memadai, nyaman, dan terjamin kebersihannya.

Tak ada yang salah dengan niatan menghias rumahNya selama dilakukan sesuai dengan syariah dan tidak berlebih-lebihan. Sebuah masjid sederhana akan lebih terasa bermakna ketika dapat menawarkan kenyamanan beribadah. Masjid yang terpelihara kebersihan dan kerapiannya, pemisahan shaf yang tertib antara jamaah laki-laki dan perempuan serta dilengkapi dengan fasilitas berwudhu yang memadai. Sebuah masjid dimana suara lantunan ayat suci Al Quran menjadi penghiasnya. Sebuah masjid yang bermegah-megahan dengan banyaknya jumlah jamaah yang dengan setia menyapa dan memujaNya.