Thursday, June 22, 2006

[Fiqh-ul-Bina']: Ruang Usaha Di Lingkungan Masjid


Sumber: Syariah Online

Assalamu alaikum wr.wb.
Masjid di lingkungan kami sedang dibangun 3 lantai, alhamdulillah sudah 70% selesai dan dapat digunakan ibadah di lantai 2 dan 3. Lantai 1 saat ini digunakan untuk TPA dan TQ, dan karena lokasi masjid cukup strategis, ada gagasan untuk membuat ruko dan menyewakannya kepada masyarakat. Uang hasil sewa tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan masjid dan da'wah. Akan tetapi ada keberatan dari jama'ah, karena ada hadits yang melarang berjual beli di dalam measjid. Dapatkan diangap, bahwa lantai 1 itu bukan masjid karena ruang ibadah terdapat di lantai 2 dan 3? Terima kasih atas jawaban ustadz. Assalamu alaikum wr.wb.

Bey Sapta

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d


Membuat ruang yang digunakan untuk usaha yang tujuannya untuk kepentingan masjid adalah sebuah ide yang bagus sekali. Sehingga segala pembiayaan untuk keperluan masjid itu sudah dengan sendirinya terpenuhi. Tidak harus menadahkan tangan dari uang kotak amal dari para jamaah yang shalat.

Namun dalam pelaksanaannya, memang bisa saja terjadi perbedaan pendapat. Hal itu terjadi bila ruang usaha yang disewakan itu masih satu bangunan dengan masjid. Syubhat seperti ini pasti akan terus terjadi manakala masih menyatunya bangunan usaha dengan ruang shalat, meski dibedakan dengan lantai yang berbeda.

Kalangan yang agak ketat dalam menghukumi sesuatu akan mengatakan bahwa berdagang di dalam gedung yang digunakan untuk masjid termasuk hal yang dilarang, karena ada larangan berjualan di dalam masjid atau di lingkungannya. Sedangkan kalanangan yang memudahkan akan mengatakan bahwa karena sudah dipisahkan dengan ruangan, maka ruang usaha itu tidak bisa dikatakan sebagai masjid lagi.

Dalam prakteknya, bila kita perhatikan perbedaan ini tercermin dari beberapa masjid yang ada di kota besar. Sebagian masjid itu ada yang mensterilkan lingkungannya dari hal-hal yang tidak terkait dengan urusan kemasjidan. Sehingga bangunan masjid itu memang benar-benar merupakan bangunan yang agung, suci dan memiliki kewibawaan tersendiri. Kalau pun ada kegiatan lain seperti sekolah atau kantor, maka dibuatkan bangunan tersendiri yang terpisah dari bangunan induk masjid meski masih di atas tanah majsid itu (halaman).

Namun ada juga masjid di kota besar yang menyatukan bangunan induk masjid dengan ruang-ruang yang disewakan, baik untuk walimah, seminar, kantor dan juga tempat berjualan. Barangkali ketika ada ruangan dari masjid itu yang disewakan untuk walimah atau ruang seminar, masih banyak yang toleran. Tapi ketika disewakan untuk ruang usaha seperti warung dan sejenisnya, timbullah kontradisksi. Karena memang ada larangan yang tegas tentang tidak bolehnya melakukan perdagangan di dalam masjid.

Untuk keluar dari perbedaan pendapat ini, maka para pengurus masjid hendaknya melakukan kajian yang mendalam. Misalnya bila masih memungkinkan untuk membangun bangunan yang terpisah dari bangunan induknya, maka hal itu jelas leibh utama.

Namun tidak mungkin membangun gedung baru yang terpisah, maka sebaiknya penyewaan ruang yang mashi satu bangunan dengan masjid bukan untuk usaha jual beli, tapi untuk acara walimah, pertemuan atau seminar. Sehingga tidak akan terkena syubhat larangan jual beli di masjid.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

No comments: