Friday, July 28, 2006

[Fikrah]: Efektivitas Ruang Shalat Berjama'ah


Dimensi Ruang Shalat
60 x 120 cm2 adalah standar ruang shalat 1 orang, yang ketetapan ini entah darimana datangnya. Telah banyak arsitek menggunakan ukuran ini dalam merancang ruang shalat terutama masjid. Namun dari semua itu saya bisa menerimanya hanya sebagai ukuran penentuan kapasitas jumlah orang/ pengguna pada luas suatu ruang shalat daripada sebagai ukuran yang dimiliki oleh pengguna.

Seperti pada entry sebelumnya mengenai dalil-dalil keutamaan merapatkan shaf, standar tersebut di atas menjadi sesuatu yang terlalu berlebihan. Ketentuan tersebut tidak menjamin kesempurnaan shaf-shaf, yakni harus rapat dan rata. Akan banyak sela-sela lowong yang seharusnya bisa diisi oleh pengguna lainnya.

Dari segi fisik, kerapatan adalah keutamaan untuk mencapai efektivitas ruang sholat. Dari segi non fisik, kerapatan ini juga menumbuhkan rasa kebersamaan (sosial) para jamaah/ pengguna.

Perlu diketahui pula bahwa ruang shalat adalah bukan ruang yang diam dengan satu kondisi saja. Penggunaannya tidak hanya untuk satu pose/ satu fungsi. Ruang shalat adalah ruang gerak yang memiliki perubahan kondisi dan fungsi yang berubah-ubah dan berulang-ulang. Ditambah lagi setiap postur manusia berbeda-beda. Dengan demikian penentuan dengan standar adalah tidak manusiawi.

Dari dalil-dalil pada entry sebelumnya, maka didapatkan kriteria keefektifan ruang (gerak) shalat:
1. Penentuan ukuran dari tempat berdiri hingga tempat sujud.
2. Penentuan ukuran tempat berdiri terhadap sisi-sisi sampingnya.

Beberapa kasus dalam keseharian yang saya dapati, bisa disimpulkan darinya ada 3 jenis pengelolaan ruang shalat:
1. Ruang gerak shalat tanpa batasan
2. Ruang gerak shalat dengan batasan baris
3. Ruang gerak shalat dengan batasan pada empat sisi

Dari 3 jenis tersebut di atas, pengelolaan jenis pertama memiliki nilai efektivitas yang tinggi dibanding yang lain. Pengelolaannya dilakukan sendiri oleh jamaah untuk merapihkan barisan (shaf). Di mana akan ada kesepakatan bersama seberapa luas dimensi yang mungkin bisa ditentukan, dengan menyesuaikan postur masing-masing jamaah dalam 1 barisan. Lalu akan didapatkan pula kerapatan sempurna yang diharapkan, dengan penentuan dari bahu yang beradu dan kaki yang bersentuhan, sehingga sela-sela yang lowong bisa dihindari.

Pengelolaan jenis ke-dua memiliki keuunggulan tersendiri walau efektivitas belum tercapai sesempurna jenis pertama. Di mana pengguna dimudahkan dalam menempati barisan dengan batasan barisan yang sudah ditentukan. Biasanya berupa garis panjang melintang dengan jarak sama yang berulang.

Pengelolaan jenis ke-tiga sangat tidak saya anjurkan. Biasanya ia berupa karpet dengan pembagian tempat shalat masing-masing pengguna seperti layaknya sajadah. Hal ini malah menyebabkan banyak sela-sela lowong, karena ruang gerak shalat tiap pengguna sudah ditentukan. Beberapa kasus yang saya dapati, walau dengan karpet ini memang ada beberapa jamaah masih menyempatkan merapatkan barisan dengan tidak mempedulikan batasan tersebut, namun ada beberapa pengguna yang lain yang belum mengetahui betul tentang keutamaan kerapatan shaf tersebut malah tetap menempati ruang yang telah ditentukan layaknya memiliki sajadah sendiri.

Tinggi Ruang Shalat
Mengenai tinggi ruangan, tidak ada ketentuan yang disebabkan kondisi gerak. Hanya saja perlu diperhatikan, bahwa dengan rapatnya barisan, maka perlu sirkulasi udara sehingga ruangan tidak menjadi pengap. Dengan begitu, sebaiknya tinggi ruangan lebih reasonable untuk penghawaan yang optimal dan bila perlu juga untuk akustik ruangan.

[Fiqh-ul-Bina']: Dalil-dalil yang berkaitan dengan Kerapatan Shaf-shaf


Sumber: Fiqh Sunnah - Sayyid Sabiq, Bab 27

1. Dari Annas, katanya: '' Bahwa Nabi saw. menghadap kepada kami sebelum takbir dan bersabda: 'Rapatkan barisanmu dan ratakan!' '' (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Nabi saw. bersabda: '' Ratakanlah shafmu, sebab sesungguhnya meratakan shaf itu termasuk kesempurnaan shalat!'' (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Dari Nu'man bin Basyir, katanya: '' Rasulullah saw. meratakan shaf kami sebagaimana meratakan anak-anak panah, sehingga setelah beliau merasa bahwa kami telah memenuhi perintahnya itu dan mengerti benar-benar. Tiba-tiba pada suatu hari beliau menghadapkan mukanya kepada kami dan melihat ada seseorang yang menonjolkan dadanya ke muka, maka beliau pun bersabda: 'Hendaklah kamu meratakan shafmu, atau kalau tidak, maka Allah akan memperlain-lainkan wajahmu semua!'*'' (* Maksudnya bahwa kamu akan selalu dalam perselisihan dan saling sengketa) (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa'i serta Ibnu Majah dan disahkan oleh Turmudzi)

4. Dari Umamah, katanya: ''Rasulullah saw. bersabda: 'Ratakanlah shafmu, rapatkan bahu-bahumu, lunakkan tangan berdampingan dengan saudara-saudaramu dan tutupilah sela-sela shaf itu, karena sesungguhnya setan itu memasuki sela-sela itu tak ubahnya bagai anak kambing kecil'.'' (HR. Ahmad dan Thabrani)

5. Dari Annas bahwa Nabi saw. bersabda: '' Sempurnakanlah dulu shaf yang pertama, kemudian yang kedua dan seterusnya! Kalaupun ada barisan yang lowong, maka hendaklah di bagia belakang saja!'' (HR. Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi)

6. Dari Ibnu Umar, katanya: ''Tiada satu langkah pun yang lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada langkah yang dilakukan seseorang menuju sela-sela shaf yang kosong kemudia dipenuhinya shaf itu.'' (Diriwayatkan oleh Bazzar dengan sanad hasan)

7. Dari Ibnu Umar, katanya: ''Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menyambung shaf, maka hubungannya akan disambung pula oleh Allah, dan barang siapa yang memutuskan shaf, maka hubungannya akan diputuskan pula oleh Allah." (Diriwayatkan oelh Nasa'i, Hakim, dan Ibnu Khuzaimah)

8. Dari Jabir bin Sumrah, katanya: ''Pada suatu hari Rasulullah saw. keluar bershalat dengan kami lalu bersabda: Tidakkah kamu ingin berbaris sebagaimana halnya malaikat di hadapan Allah? Kami bertanya: Ya Rasulullah, bagaimanakah caranya malaikat berbaris di hadapan Allah? Ujar beliau: Mereka menyempurnakan dulu shaf pertama serta merapatkannya benar-benar.'' (Diriwayatkan oleh Jama'ah selain Bukhari dan Turmudzi)

***

Tambahan pada Bab 38 'Sholat Jum'at', Pasal 2144 'Shalat Ketika Berdesakan':
Dari Saiyar, katanya: ''Saya dengar Umar waktu berkhutbah mengatakan: 'Rasulullah saw. mendirikan masjid ini, sedang kami semua besertanya, baik dari golongan Muhajirin maupun Anshar. Maka ketika berdesakan, 'hendaklah seseorang itu sujud di atas punggung kawannya!' Dan ketika dilihatnya orang bershalat di jalanan, maka katanya: 'Bershalatlah dalam Masjid!'.''

Monday, July 10, 2006

[Informasi]: Penilaian semula bahasa seni bina masjid

Foto: Masjid Negara Kuala Lumpur

Sumber: Utusan Malaysia

Oleh: M. TAJUDIN M. RASDI

(Keterangan: Seni Bina = Arsitektur)

Setiap bangunan berkomunikasi dengan pengguna melalui suatu bahasa tersirat. Bahasa ini terhasil daripada tafsiran peribadi setiap pengguna terhadap gubahan bentuk, warna dan suasana sesuatu ruang dalam atau luar. Masjid perlu memberi beberapa mesej tertentu kepada pengguna.

Pertama masjid perlu memberi mesej kesederhanaan dalam Islam; kedua ia perlu memberi mesej 'jemputan' kepada semua Muslim dan bukan Muslim untuk masuk ke pekarangannya dan ketiga ia perlu menggunakan bahasa seni bina yang vernakular pada tempatnya.

Mesej kesederhanaan dalam Islam ialah suatu mesej pokok. Rasulullah s.a.w ialah orang yang amat sederhana sifatnya dan kehidupannya. Baginda mempunyai harta benda dan pakaian serta bekalan hidup yang sekadar mencukupi sahaja. Agak sukar untuk membayangkan bagaimana baginda akan mempersetujui banyak pembinaan masjid yang boros dan keterlaluan. Masjid perlu dibina sekadar pengguna kenal bangunan berkenaan ialah sebuah masjid. Umpamanya kalau satu menara sudah cukup untuk memberi mesej ini, tiada perlu lagi menara lain.

Justifikasi bahawa Islam juga cinta kepada estetika atau kecantikan tidak boleh dipakai kerana kecantikan adalah sesuatu yang agak subjektif. Umpamanya Menara Eifel di Perancis telah dikutuk habis-habisan kerana dikatakan sesuatu yang hodoh dan tidak berseni tetapi kini ia menjadi lambang kemegahan teknologi dan estetika Perancis.

Penggunaan hiasan masjid melalui ukiran kaligrafi atau bentuk geometri perlu dikawal. Jika kaligrafi tulisan ayat al-Quran digunakan, biarlah ia terletak di tempat yang boleh umat membacanya dan bukannya tinggi di kubah yang hanya dapat dilihat dan dibaca oleh si pencuci kubah sahaja.

Penggunaan gerbang perlu diolah agar ia tidak keterlaluan mendukung imej sebuah `istana'. Penggunaan bahan dinding perlu mengambil kira kesan cuaca dan penjagaan yang paling minimum. Pada asasnya biarlah segala keputusan penggubahan masjid menekankan aspek utiliti terlebih dahulu berbanding kecantikan. Bangunan yang tercantik ialah bangunan yang digubah supaya menyentuh jiwa melalui pandangan dan pengetahuan bahawa setiap bahagian memainkan peranan utiliti. Sebatang pokok yang kelihatan cantik dan menjadi subjek kepada banyak pelukis mempunyai bahagian-bahagian yang bukan untuk estetika semata-mata.

Masjid perlu memancarkan mesej jemputan dan bukan menghalang. Reka bentuk pagar dan permukaan bangunan perlu diolah agar orang yang lalu lalang di luar pekarangan masjid nampak aktiviti di pekarangan dan di dalam bangunan. Manusia biasanya tertarik dengan aktiviti manusia lain. Jika mereka tidak nampak manusia lain, mereka akan berkunjung ke sesuatu tempat itu.

Kemudahan-kemudahan masjid seperti kedai dan kafeteria perlu didedahkan bagi menarik minat pengguna. Kemudahan awam lain seperti bangku, alat permainan dan wakaf perlu didedahkan agar kesemuanya dapat dimanfaatkan oleh mereka yang lalu di hadapan atau di sebelah masjid.

Pagar dan pintu pagar masjid disediakan agar tiada binatang seperti anjing masuk ke pekarangan. Kedua-duanya perlu direka bentuk agar tidak menghalang pengguna untuk masuk ke dalam pekarangan masjid. Umpamanya pintu pagar yang lebih rendah daripada ketinggian orang dewasa dan mempunyai bilangan bukaan yang banyak adalah lebih sopan ekspresinya berbanding pintu pagar yang lebih tinggi.

Pintunya pula boleh tertutup sendiri setelah pengguna masuk. Ruang dan alatan kemudahan awam perlu boleh dilihat dari pintu pagar untuk menyatakan kepada pengguna supaya mereka dijemput masuk dengan cara membuka pintu pagar. Aspek reka bentuk pagar dan pintunya perlu diberi perhatian khusus kerana ini akan menjadi elemen sama ada penghalang atau penyambut tetamu.

Perkara ketiga yang perlu dibincangkan adalah mengenai gaya rupa masjid. Pada masa kini masyarakat Malaysia terlalu ghairah membina masjid bergaya rupa masjid Timur Tengah. Mengapa perlu berbuat demikian? Pembinaan kubah, menara yang banyak dan gerbang serta ornamen yang menelan belanja besar, tidak banyak manfaatnya kepada umat Islam. Lagipun kesemua bangunan ini nampak seperti suatu penjara, kota atau istana yang memberi mesej halangan berbanding mesej jemputan.

Bangunan bergaya rupa ini juga memberi mesej bahawa seolah-olah agama Islam terbaik adalah dari Timur Tengah dan kita di Malaysia tidak akan dapat mencapai tahap keimanan umat Islam seperti mereka yang fasih berbahasa Arab. Mesej ini adalah suatu 'sikap merendah diri umat Islam di Malaysia. Kebaikan sesuatu umat tidak bergantung kepada kefahaman bahasa Arab ataupun warisan sejarah Islam yang gilang gemilang.

Kebaikan Islam bergantung terus kepada kefahaman Islam dan amalan menyeluruh budaya Islam. Ramai penggerak Islam mengatakan bahawa Malaysia mempunyai suasana politik yang amat baik bagi perkembangan Islam. Sistem perundangannya yang berjaya menyatu padu semua kaum yang berlainan agama di bawah pemimpin atasan Islam menjadi sesuatu yang membanggakan.

Model sistem politik sebegini tidak terdapat di negara Timur Tengah yang mempunyai peratusan umat Islam yang amat tinggi atau dalam sejarah negara-negara tersebut.

Elemen seperti kubah dan gerbang biasanya dikaitkan dengan imej Islam. Mengapa? Sebab para sejarawan seni bina Barat mengatakan demikian!

Saya mempunyai pandangan yang berbeza. Sistem kubah dan gerbang bukan sistem yang 'unik' pada Islam. Kedua-duanya ialah sistem rentangan yang perlu bagi bahan seperti batu dan lumpur. Di Malaysia kita banyak mempunyai kayu-kayan maka tiada perlu kita kepada gerbang dan kubah kerana sistem alang dan tiang sudah memadai.

Kita harus prihatin tentang bahasa seni bina masjid kerana ia melambangkan nilai Islam. Adakah kita hendak memaparkan nilai keangkuhan, regresif, kolot, tidak berjiwa setempat dan keborosan atau seperti Masjid Negara yang memaparkan suatu nilai dinamik, progresif, berjiwa setempat, tidak membazir dan rendah diri. Tidak semestinya sesuatu yang termahal itu mendatangkan manfaat tetapi sesuatu yang jujur sentiasa diterima baik.

[Istilah]: 'Rumah' dalam Al Qur'an

Oleh: Bambang Setia Budi
Sumber: Mailinglist Arsitektur Islam

Kiriman: Adhika Bayu
Ada tiga penggunaan kata yang dipakai dalam al-Qur`an
berkaitan dengan rumah tinggal. Ketiga kata ini

kadang-kadang diberi makna atau arti yang sama yakni
rumah, tetapi sebenarnya secara khusus memiliki
karakteristik makna yang berbeda.

Ketiga kata tersebut yakni:


1. al-Bait

Dari kata baata - yabiytu - bait, yang berarti bermalam
/ menginap. Sedangkan bait dan bentuk jamaknya
buy't sebagai perkembangan berikutnya bermakna
rumah tangga atau tempat diam, jadi secara khusus
lebih bermakna
tempat bermalam / menginap suatu
keluarga. Pada akhirnya kata ini yang lebih dekat kepada
makna rumah tinggal yang dihuni sebagai tempat
bermalam dan tempat diam / menetap
oleh sebuah keluarga dalam pengertian ini.
(QS. 17: 93, 66:11, 8:5, 14:37, 4:100, 12:23, 71:28,
2:189, 4:15, 29:41, 24:36, 33:53, 7:74, 15:82, 16:68,
26:149, 10:87, 16:80, 24:27,29,61, 3:49,154, 10:87,
16:80, 33:13,33,34, 27:52, 59:2, 43:33,34, 65:1)


2. al-Maskan

Dari kata sakana - yaskunu - sakanan, yang berarti
mendiami / tinggal. Kemudian maskan dengan bentuk
jamaknya masaakin sebagai perkembangannya bermakna
rumah atau tempat kediaman. Secara khusus bermakna
tempat untuk tinggal yang bisa saja tidak menetap dalam
jangka waktu yang lama, jadi lebih luas maknanya dan
tidak terbatas pada makna rumah tinggal untuk sebuah
keluarga saja. Termasuk dalam cakupan makna ini adalah
villa, asrama, apartemen, hotel, dan sebagainya.
(QS. 34:15, 9:24, 9:72, 61:12, 14:45, 21:13, 27:18, 20:128,
32:26, 28:58, 29:38, 46:25, 24:29)


3. ad-Daar

Secara khusus bermakna tempat tinggal sebagaimana
al-Maskan namun lebih luas lagi, yakni mencakup segala
fasilitas untuk kelengkapannya. Dapat dikatakan ad-Daar
misalnya rumah tinggal beserta pekarangannya / halaman
/ tamannya, garasi, kolam, dan lain-lain. Bahkan lebih
sering ad-Daar untuk menyebutkan suatu tempat yang
luas dan kompleks, suatu pemukiman, sebuah negeri,
dan sebagainya.
(QS. 6:127, 10:25)


Saturday, July 08, 2006

[Informasi]: Laris Manis Dengan Label Muslim


Sumber: Properti.net

Label agama kian banyak digunakan dalam bisnis properti. Apa untung ruginya?

What is the name', ujaran William Shakespeare ini rupanya tak begitu laku bagi pengembang perumahan berlabel muslim. Bagi mereka, nama merupakan identitas diri, terlebih bila berhasil mendongkrak angka penjualan. Semakin paten saja nama yang disandang.

Negasi terhadap ujaran sastrawan Inggris yang terkenal dengan Hamlet dan Machbet-nya itu, sedang laku di pasar properti. Apalagi kalau bukan I am Me-nya Rene Descartes. Contohnya, semakin bertebaran saja iklan-iklan yang dengan bangga menyandang label muslim yang memanfaatkan media dalam dan luar ruang.

Ada kavling muslim, rumah muslim idaman, bukit sakinah, mawadah, rahmah, dan lain-lain label yang lekat dengan 80% penduduk Indonesia yang menganut agama samawi ini. Ada yang berlokasi di Tangerang, Bogor, Bekasi, dan lainnya.

Sebetulnya, fenomena penggunaan label muslim untuk properti sudah ada sejak 1995. Ditandai dengan munculnya Griya Islami di Kecamatan Kresek, Balaraja Tangerang, dan Telaga Sakinah (1996) di Bekasi atau Villa Ilhami di Karawaci, Tangerang. Griya Islami, setelah diambilalih PT Ibsul Hold Sdn. Bhd, kini berganti baju dengan nama Griya Citra Permai.

Apa yang menjadi motif para pengembang berani menyandang label muslim untuk bisnis mereka? Ingin memunculkan sentimen keagamaan, tentu saja. Ukhuwah islamiyah, istilahnya. Alasan lain, tentu saja berkait erat dengan estimasi bisnis, yakni common sense "pasar muslim sangat besar dan potensial mendatangkan keuntungan". Betulkah itu? Bukankah justru bisa menimbulkan eksklusivitas?

Komaruddin Hidayat, dalam jurnal Paramadina, mengatakan Islam tidak mengenal eksklusivitas. Karena jika sudah menjadi eksklusif, nilai-nilai keislaman menjadi luntur. "Menjadi inklusif adalah lebih baik. Berbaur dan hidup dengan perbedaan-perbedaan adalah rahmat".
Eksklusivitas ini juga yang ditakutkan Dharmasetiawan Bachir, Wakil Ketua Umum DPP REI bidang Pertanahan, Hukum dan Perijinan. "Label Islam (agama) terlalu mulia untuk dijadikan eksklusif, (nanti) bisa terjadi Mei 1998 jilid II. Apalagi jika agama dimanfaatkan untuk bisnis properti".

Sementara, Ketua Pleno Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Zoemrotin menilai semangat untuk menunjukkan nilai-nilai keislaman patut mendapat tanggapan positif. Akan tetapi, "Maraknya label muslim ini tak lebih sebagai eforia masyarakat yang ditangkap kalangan pebisnis karena common sense tadi," tukasnya.

Kendati demikian, ujaran Rene Descartes terbukti jitu. Menariknya, bukan semata pada larisnya perumahan muslim tersebut, tapi semangat sentimen keagamaan yang muncul pada akhirnya. Seperti menjamurnya bisnis ritel, perkantoran muslim, biro jasa dan lain-lain di area perumahan tersebut.

Tengoklah Telaga Sakinah (TS). Perumahan islami sekitar 4 kilometer dari pintu tol Cibitung Bekasi, ini menunjukkan betapa label muslim memiliki pengaruh luar biasa.

PT Gagas Nusa Prima (GNP) pengembang TS, mengakui berkah tersebut. Marketing Associate Pram Budiharsono mengungkapkan, sejak dibangun 1996, TS yang menjual rumah ready stock, berhasil menjaring sekitar 250 kepala keluarga atau sekitar 300 unit rumah terjual.

"Padahal harga yang ditawarkan lumayan juga, di atas Rp 100 juta. Karena kami membidik keluarga muslim dari lapisan menengah atas," ujar Pram dengan bangga seraya menyebut bahwa ada banyak tokoh muslim terkenal memiliki rumah di TS seperti Antonio Syafii.

Deskripsi lain, di TS ini terdapat biro perjalanan haji Tiga Utama, supermarket Suq, gerai Shafira House, dan masih banyak lagi.

Nah, sampai di sini, korelasi nama dengan kepentingan bisnis, terbukti paralel, bukan? Tapi apa sih sebetulnya yang membedakan perumahan muslim dibanding dengan perumahan umum? Jawabannya, konsep keislaman lengkap dengan pendukung sarana ibadah mahdlah, desain dan anatomi bangunan serta nuansa.

"Perbedaan menonjol yang dimiliki TS dibanding perumahan lain adalah pada letak toilet. Yakni tidak berhadapan dengan kiblat (arah shalat), melainkan menyamping. Setiap kamar dirancang untuk menghadap kiblat, agar konsumen tidak kebingungan," jelas Pram.

Meskipun labelnya muslim, tapi tidak tertutup kemungkinan kalangan non muslim memiliki rumah di TS. "Asalkan mereka mau mentaati peraturan yang kita tetapkan," tegas Pram.

Pun Bukit Sakinah (BS). Siapa yang tak ingin memiliki rumah yang secara epitimologi artinya rumah tangga tenteram dan damai. Motivasi itulah yang menggiring PT Wastudipta Adhi Graha (WAG) untuk mengembangkan perumahan berlabel muslim.

Secara eksplisit Toto Avianto, Direktur Utama WAG mengatakan bahwa motifnya mengembangkan perumahan muslim tak lebih hanya ingin mengumpulkan para muslimin dalam satu wilayah yang terintegrasi.

"Nanti, kalau pembangunan sudah selesai, nuansa islam akan tercipta dengan sendirinya. Karena di sini akan dibangun masjid dan fasilitas rohani yang tidak bersifat fisik semata," urai wong Solo ini kalem.

Label muslim membawa berkah rupanya. Sebab sejak dipasarkan pada September 1999, perumahan seluas 10 hektare ini, sudah laku 277 unit dari rencana pembangunan sekitar 782 unit. Terang saja, berlokasi di ketinggian 435 meter di atas permukaan air laut, beralam hijau produktif, di atas sumber mata air Leuwiliang, dan di kaki gunung Salak, Bogor, siapa yang tak tergiur dengan keelokan alam ini? Belum lagi harga rumah yang ditawarkan, sangat menarik. Untuk tipe Rahmah (21/60) ditawarkan harga Rp 17,3 juta. tipe Barokah (27/66) Rp 23,2 juta, Mawadah (36/78) Rp 30,1 juta dan Sakinah (45/105) Rp 44,88 juta.

Hanya saja, tidak semua perumahan muslim membangun atau menyelenggarakan konsep keislaman secara kaffah. Ada bahkan yang hanya menjual kavling saja tanpa disertai infrastruktur memadai. "Biasanya perumahan seperti itu dikembangkan secara pribadi dan luasnya pun tak lebih dari 10 ha," cermat Dharmasetiawan Bachir, yang kerap dipanggil Iwan ini.

Contohnya pengembang Taman Firdaus (TF), yang hanya menjual kavling mentah di atas tanah seluas 10 hektare.

Perumahan yang berlokasi di Cemplang, sekitar 20 km arah barat Kota Bogor ini, hanya mematok kavling-kavling berdasarkan luasnya saja. Menurut Nani, staf marketing-nya, TF menjual kavling seluas 150 m2 dengan harga Rp 52.000/m2.

Meski hanya kavling mentah dan tak dilengkapi fasilitas, TF cukup menangguk untung dengan label muslimnya. Buktinya, "Tidak hanya di Cemplang, kami mengembangkan area serupa di Ciampea (5 km dari kampus Dramaga IPB), dan banyak yang beli," imbuh Nani.

LSE sendiri adalah pemilik lokasi kawasan perkantoran tersebut, dan ini berarti LSE tidak perlu pindah, namun diindikasikan akan mengosongkan diri pada tahun 2004. "Kami melihat bagaimana cara terbaik memaksimalkan aset kami. Kami adalah organisasi komersial, bukan sebuah perusahaan properti," kata seorang pejabat LSE.

Isu yang beredar sebelumnya, LSE kemungkinan akan memutuskan "hubungan" dengan London yang sudah terjalin selama 200 tahun dan akan pindah ke Canary Wharf di London Timur. (South China Morning Post).

Kondisi serupa juga terjadi di Taman Madani (TM) yang dikembangkan PT Tazkia Bangun Segara. Namun pemiliknya, Yadi Amarhayadi, mengatakan masyarakat tak perlu khawatir membeli TM yang berlokasi di Desa Cigudeg, Bogor. Karena perusahaannya adalah anggota REI. "Jadi konsumen tidak perlu khawatir dengan legalitas dan status kami," ujarnya.

Kondisi inilah yang dikhawatirkan. "Tanggung jawabnya besar sekali," alasan Iwan, yang juga komisaris PT Ibsul, sambil memberi contoh pihaknya tidak lagi memakai Griya Islam untuk Griya Citra Pratama-nya karena tidak ingin memanfaatkan label agama untuk kepentingan bisnis.

Selain itu, lanjut Iwan, seandainya terjadi tindak kriminal, akan sangat berdampak terhadap nama Islam itu sendiri. "Makanya kalau ingin mengembangkan perumahan islami harus benar-benar mentaati prosedur yang ada, jangan merugikan, apalagi menipu konsumen."

Jadi, sah-sah sajalah jika pelaku bisnis memanfaatkan label Islam, asal tindak tanduk bisnisnya betul-betul mencerminkan konsep keislaman.

(Terima Kasih atas Kiriman: Fauzia Dwi Anggraini)