Penghalang, Tiang-tiang, Sutrah, dan Hijab
1. Yang menghalangi antara imam dan makmum
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 26: 2061)
Sah shalat makmum mengikuti imam sekalipun di antara keduanya terdapat penghalang semisal sungai, jalan, dan dinding (yang memang sudah ada di sana sebelumnya/ yang tidak bisa dihindari di saat bershalat), asalkan saja makmum dapat mengetahui gerak-gerik imam bershalat atau dapat mendengar suaranya.
Bukhari menerangkan bahwa Hasan berkata: ''Tidak jadi soal jika kamu bershalat dan antaramu dengan imam ada sungai.''
Berkata Abu Mijlaz: ''Boleh bermakmum kepada imam sekalipun di antara kedua mereka terdapat suatu jalanan atau dinding, asal saja ia dapat mendengar takbiratul ihram dari imam itu.''
Nabi saw pernah bershalat dengan para sahabat sebagai makmum di belakang, sedang beliau berada di dalam bilik rumahnya.
Tambahan dari saya: Para Ulama berfatwa bahwa, bagi yang bermakmum melalui radio dan televisi tidak sah shalatnya. Untuk pengeras suara banyak ulama yang membolehkan. Saya melihat hal ini adalah kehati-hatian dalam mencegah salah persepsi tentang ketentuan di atas di kemudian hari, terutama dijadikan alasan untuk membolehkan memutuskan shaf makmum secara ekstrim.
2. Tiang-tiang (Pilar/ Kolom)
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 27: 2074)
Seseorang itu boleh saja bershalat di antara tiang-tiang masjid, baik ia sebagai imam atau munfarid (shalat sendiri) tapi makruh untuk makmum jika sampai tiang tersebut memotong shaf (kecuali tempat itu sempit, maka tidaklah makruh).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar:
''Bahwa Nabi saw. ketika masuk ke dalam Ka'bah, beliau melakukan shalat di antara 2 tiang'' (Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Anas:
''Kami dilarang bershalat di antara tiang-tiang, bahkan diusir dari tempat-tempat itu.'' (Hakim)
Diriwayatkan dari Mu'awiyah dari ayahnya:
''Kami dilarang berbaris di antara tiang-tiang di masa Rasulullah saw, bahkan kami diusir dari tempat itu dengan keras.''
Dari Qurrah bin Iyas ﻪﻨﻋﷲﺍﻲﺿﺭ, ia berkata :
“Kami dilarang untuk berbaris di antara tiang_tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah, dan lain-lain; dengan sanad shahih).
Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata :
“Aku shalat bersama Anas bin Malik pada hari Jum’at, kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang. Sebagian dari kami maju dan sebagian lagi mundur. Maka Anas berkata : ‘Kami menghindari ini di jaman Rasulullah ﻢﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍﻰﻟﺻ” (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lain-lain; dengan sanad shahih).
Hadits menunjukkan bahwa shaf sebaiknya menghindari jalur yang ada tiangnya, karena hal itu dapat memutuskan shaf. Hal ini dilakukan apabila memungkinkan, yaitu masjidnya luas. Namun apabila sempit, menurut para ulama, tidak apa-apa insya Allah.
Abu Dawud berkata : “Aku telah bertanya kepada Imam Ahmad tentang shalat diantara tiang-tiang”, maka beliau menjawab : “Sesungguhnya hal itu dibenci sebab membuat shaf terputus. Maka apabila berjauhan diantara kedua tiangnya maka aku berharap (tidak mengapa).”Tambahan dari saya: Oleh karena itu dianjurkan sebaiknya struktur masjid sebaiknya adalah struktur bentang lebar yang bebas kolom. Namun jika tak bisa dihindari adanya kolom-kolom, maka solusi dari seperti kasus yang saya dapati, ada yang tetap mengisi ruang antar dua tiang atau ada juga masjid yang tidak mengisinya dengan jeda yang dianggap sebagai tempat lalu lalang atau tempat lemari-lemari Kitab (ruang antar dua tiang kosong oleh makmum), namun untuk saya pribadi belum bisa menetapkan mana yang benar. Dan juga untuk kasus jika kolom berdimensi kecil, kali ini saya masih dalam pertanyaan.
Mungkin 2 tiang yang sejajar dengan shaf bisa diterjemahkan tak hanya memotong shaf namun juga membagi ruang secara melintang menjadi 2 ruang yang terpisah, sehingga 2 tiang ini seakan-akan seperti dinding/ barrier antara kedua ruangan, dan oleh karena itu di anjurkan untuk tidak berdiri diantaranya karena itu sama saja berdiri pada dinding. Namun ini masih hanya dugaan (asumsi) pribadi saya saja.
Misal: untuk solusi masjid yang mengadopsi tiang sokoguru yang terdiri dari 4 kolom, maka di depan atau pada ''2 kolom depan'' dijadikan tempat shalat imam, di antara ''2 tiang kolom'' dan ''2 tiang kolom'' dijadikan tempat sholat makmum, dan untuk di belakang ''2 kolom belakang'' dijadikan halaman berteduh (shelter) ataupun ''suffa'' (tempat belajar mengajar)
3. Sutrah (Pembatas di Muka Orang Bershalat/ Dinding Kiblat)
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 29)
Seseorang disunnatkan mengadakan Sutrah dimukanya hingga dapat menghalangi orang yang akan lewat didepannya, serta mencegah penglihatannya untuk melihat apa-apa yang dibaliknya. Ulama golongan Hanafi dan Maliki banyak berpendapat demikian, tetapi kalau dirasa aman dari itu, maka tidaklah disunnatkan.
Dari Abu Sa'id, Rasulullah berkata:
''Apabila salah seorang di antaramu bershalat, baiknya ia membuat sutrah di depannya dan hendaklah ia mendekat sutrah tersebut!'' (Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu Abbas meriwayatkan:
''Pada suatu ketika Nabi saw. bershalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat suatu apapun.''
Jarak dan Ukuran:
Diriwayatkan bahwa :Rasulullah SAW berdiri di dekat tabir. Jarak antara beliau dengan tabir itu ada 3 hasta/ 1,5 meter. (HR.Bukhari dan Ahmad)
Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana (1 hasta=50 cm) . Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau perempuan atau anjing hitam."
Rupa-rupa Sutrah:
Ia cukup memadai, sekalipun berupa suatu benda yang didirikan oleh orang yang bershalat di mukanya, bahkan walau hanya ujung hamparannya. Misalkan (dari beberapa hadits): anak panah, tombak, tongkat, dinding/ partisi, sebatang pohon, tiang masjid, tempat tidur ataupun hanya sekedar garis.
Tambahan dari saya: Jadi orang yang akan melintas tahu betul wujud batas itu, sehingga menarik diri/kembali atau melintas hanya di balik/ sisi luar batas itu. Jadi yang dipentingkan dari hal ini adalah wujud ''tanda'' atau ''petunjuk''.
Sutrah imam adalah sutrah makmum juga. Jadi sebenarnya sutrah ini hanya disyariatkan semata-mata di depan/ bagi imam atau bagi yang munfarid (shalat sendiri). Maka boleh adanya melintas di depan makmum, namun haram melintas di depan imam maupun orang yang munfarid.
Tambahan dari saya: Sutrah ini adalah elemen yang sudah pasti sebaiknya dimiliki di setiap masjid. Jika masjid itu ''terbuka'' pada semua atau beberapa penjuru sisi, maka suatu keutamaan untuk diadakan sutrah/ dinding kiblat ini pada sisi depan tempat bershalat.
4. Hijab (Tirai atau Partisi/ Sekat)
“Apabila kamu (laki-laki bukan muhrim) meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tirai/ tabir).” (QS. Al-Ahzab : 53).
Tambahan dari saya: Secara umum ayat ini dipegang dan diterima dengan berpendapat bahwa, jika hanya keperluan biasa pun disyariatkan, maka apalagi untuk keperluan ibadah.
Hijab yang dimaksudkan bukanlah Jilbab. Namun berupa tirai/ sekat/ tabir/ partisi yang berdinding penuh, tidak penuh ataupun tersamar antara shaf laki-laki dan shaf perempuan, yang fungsinya hanya sekedar membatasi penglihatan atau hingga ada yang sampai membatasi pendengaran sekalipun (mereka berpegang pada ketentuan tentang suara wanita adalah aurat).
Pembagian Shaf
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 26: 2063A)
Ketentuan mengenai pembagian shaf antara laki-laki, anak-anak dan perempuan telah disyariatkan oleh Nabi saw. supaya letak antara laki-laki dan perempuan berjauhan sehingga mencegah dari pencampur bauran.
''Bahwa Rasulullah saw. menempatkan kaum laki-laki di muka anak-anak, sedang kaum perempuan di belakang anak-anak itu.'' (Ahmad dan Abu Daud)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
''Sebaik-baik shaf kaum laki-laki ialah yang pertama dan seburuk-buruknya ialah yang terakhir. Sedang sebaik-baik shaf kaum perempuan ialah yang terakhir, dan seburuk-buruknya ialah yang pertama.'' (Bukhari)
Tambahan dari saya: Tentang pembagian shaf antara laki-laki dan perempuan kanan dan kiri di ruang shalat, tidak ada dalil yang melandasi. Banyak ulama menyatakan pendapat ini sebagai bid'ah yang harus dihindari, karena merupakan bid'ah ibadah.
No comments:
Post a Comment