Wednesday, September 13, 2006

[Fiqh-ul-Bina']: Penataan Ruang Masjid (Bagian 1)

Foto: Masjid At-Tin, Jakarta

Tempat Imam atau Makmum yang Lebih Tinggi
(Pasal 2060A dari Bab 26: Shalat Jama'ah, Fiqhussunnah - Sayyid Sabiq)

a. Makruh hukumnya jika imam berdiri lebih tinggi dari tempat makmum.

''Rasulullah saw. melarang seorang imam itu berdiri di atas sesuatu, sedang makmum berada dibawahnya atau lebih rendah daripadanya.''
(Diriwayatkan oleh Daruquthni, tetapi tidak disebutkan oleh Hafizh dalam buku Al Talkhish)

b. Mubah tempat makmum melebihi ketinggian tempat imam, namun dengan batas ketinggian dan ketentuan lainnya.

Berdasarkan komentar Said Ibnu Manshur, Baihaqi, Syafi'i, dan Bukhari: dari keterangan Abu Hurairah pribadi, bahwa beliau pernah bershalat di sebelah atas masjid dengan mengikuti imam.

Berdasarkan komentar Said Ibnu Manshur pula dari keterangan Annas pribadi bahwa ia pernah bershalat mengikuti imam dalam bilik rumah kepunyaan Abu Nafi' yang terletak di sebelah kanan masjid, berada di ketinggian dan bilik itu memiliki sebuah pintu yang menghadap ke masjid Basrah. Hal ini didiamkan saja oleh para sahabat.

Syaukani berkata: ''Jika tempat makmum itu tingginya melampaui batas, misalnya sampai lebih dari 300 hasta (kurang lebih 150 meter), hingga makmum tidak dapat mengetahui gerak-gerik imam, maka hal itu terlarang menurut ijma' ulama, dan dalam hal ini tak ada perbedaan, apakah tempat itu masjid ataukah lainnya. Tetapi bila tidak sampai 300 hasta, maka menurut asal hukumnya boleh saja sebab memang tidak ada dalilpun yang melarangnya. Hal ini dikuatkan oleh perbuatan yang pernah dilakukan oleh Abu Hurairah sebagaimana tersebut.''

***

Ulasan dari saya:


Ketentuan ini benar adanya dari contoh kasus model beberapa bangunan untuk bershalat (masjid) bertingkat yang dimiliki bangsa arab dan turki yang saya lihat di Jerman ini maupun yg diterapkan di Masjidil Haram. Di mana perluasan tempat sholat secara vertikal adalah ke atas bukan ke bawah. Lantai atas biasanya dipakai untuk jamaah perempuan atau bisa digunakan pula untuk makmum jum'at. Sedangkan tempat imam tetap berada di lantai dasar.

Namun ruang di atas biasanya dan sebaiknya masih bersifat terbuka, adalah ia berupa ruang yang memiliki lubang (void) atau ruang berlevel-level seperti layaknya tribun atau dengan penyelesaian arsitektural lainnya, sehingga makmum diatas masih mengetahui gerak-gerik imam atau mendengar imam. Atau dikondisi tertentu makmum hanya mampu mendengar seorang pemberi isyarat melalui suara (bilal atau adalagi yang menyebutnya dengan mubalig). Untuk kasus-kasus tertentu di masa kini banyak yang menggunakan peralatan audio maupun visual.

Untuk masalah shaf yang terpotong/ tak bersambungan akan menjadi perdebatan. Apakah ketentuan jarak 300 hasta bisa dijadikan batas ketentuan? Wallahu a'alam. Tapi yang pasti, bershalat di rumah dengan mengikuti imam di televisi tentu saja menjadi gurauan belaka.

Kekhilafan yang perlu diperbaiki dan dilengkapi terjadi di masjid-masjid di Indonesia, terutama yang saya temui di beberapa masjid baru yang bertingkat di Jakarta, dimana di lantai bawah terdapat ruang serbaguna (multi use room/ bukan ruang sholat formal). Kekhilafan itu terjadi pada saat ruang serbaguna itu digunakan juga untuk makmum jum'at/tarawih atau makmum perempuan shalat ied, namun tempat imam tetap berada diatas, yaitu ruang sholat formal/ masjid yang berada di atasnya.

Sebaiknya kebiasaan ini dirubah dengan solusi: jika ruang serbaguna dibawahnya digunakan untuk bersholat juga, maka tempat imam sebaiknya diturunkan ke ruang tersebut untuk kemakruhan tercegah.

Makruh yang berbilangan adalah biangnya untuk berbuat haram!

... to be continued ...

No comments: