Friday, July 28, 2006

[Fikrah]: Efektivitas Ruang Shalat Berjama'ah


Dimensi Ruang Shalat
60 x 120 cm2 adalah standar ruang shalat 1 orang, yang ketetapan ini entah darimana datangnya. Telah banyak arsitek menggunakan ukuran ini dalam merancang ruang shalat terutama masjid. Namun dari semua itu saya bisa menerimanya hanya sebagai ukuran penentuan kapasitas jumlah orang/ pengguna pada luas suatu ruang shalat daripada sebagai ukuran yang dimiliki oleh pengguna.

Seperti pada entry sebelumnya mengenai dalil-dalil keutamaan merapatkan shaf, standar tersebut di atas menjadi sesuatu yang terlalu berlebihan. Ketentuan tersebut tidak menjamin kesempurnaan shaf-shaf, yakni harus rapat dan rata. Akan banyak sela-sela lowong yang seharusnya bisa diisi oleh pengguna lainnya.

Dari segi fisik, kerapatan adalah keutamaan untuk mencapai efektivitas ruang sholat. Dari segi non fisik, kerapatan ini juga menumbuhkan rasa kebersamaan (sosial) para jamaah/ pengguna.

Perlu diketahui pula bahwa ruang shalat adalah bukan ruang yang diam dengan satu kondisi saja. Penggunaannya tidak hanya untuk satu pose/ satu fungsi. Ruang shalat adalah ruang gerak yang memiliki perubahan kondisi dan fungsi yang berubah-ubah dan berulang-ulang. Ditambah lagi setiap postur manusia berbeda-beda. Dengan demikian penentuan dengan standar adalah tidak manusiawi.

Dari dalil-dalil pada entry sebelumnya, maka didapatkan kriteria keefektifan ruang (gerak) shalat:
1. Penentuan ukuran dari tempat berdiri hingga tempat sujud.
2. Penentuan ukuran tempat berdiri terhadap sisi-sisi sampingnya.

Beberapa kasus dalam keseharian yang saya dapati, bisa disimpulkan darinya ada 3 jenis pengelolaan ruang shalat:
1. Ruang gerak shalat tanpa batasan
2. Ruang gerak shalat dengan batasan baris
3. Ruang gerak shalat dengan batasan pada empat sisi

Dari 3 jenis tersebut di atas, pengelolaan jenis pertama memiliki nilai efektivitas yang tinggi dibanding yang lain. Pengelolaannya dilakukan sendiri oleh jamaah untuk merapihkan barisan (shaf). Di mana akan ada kesepakatan bersama seberapa luas dimensi yang mungkin bisa ditentukan, dengan menyesuaikan postur masing-masing jamaah dalam 1 barisan. Lalu akan didapatkan pula kerapatan sempurna yang diharapkan, dengan penentuan dari bahu yang beradu dan kaki yang bersentuhan, sehingga sela-sela yang lowong bisa dihindari.

Pengelolaan jenis ke-dua memiliki keuunggulan tersendiri walau efektivitas belum tercapai sesempurna jenis pertama. Di mana pengguna dimudahkan dalam menempati barisan dengan batasan barisan yang sudah ditentukan. Biasanya berupa garis panjang melintang dengan jarak sama yang berulang.

Pengelolaan jenis ke-tiga sangat tidak saya anjurkan. Biasanya ia berupa karpet dengan pembagian tempat shalat masing-masing pengguna seperti layaknya sajadah. Hal ini malah menyebabkan banyak sela-sela lowong, karena ruang gerak shalat tiap pengguna sudah ditentukan. Beberapa kasus yang saya dapati, walau dengan karpet ini memang ada beberapa jamaah masih menyempatkan merapatkan barisan dengan tidak mempedulikan batasan tersebut, namun ada beberapa pengguna yang lain yang belum mengetahui betul tentang keutamaan kerapatan shaf tersebut malah tetap menempati ruang yang telah ditentukan layaknya memiliki sajadah sendiri.

Tinggi Ruang Shalat
Mengenai tinggi ruangan, tidak ada ketentuan yang disebabkan kondisi gerak. Hanya saja perlu diperhatikan, bahwa dengan rapatnya barisan, maka perlu sirkulasi udara sehingga ruangan tidak menjadi pengap. Dengan begitu, sebaiknya tinggi ruangan lebih reasonable untuk penghawaan yang optimal dan bila perlu juga untuk akustik ruangan.

1 comment:

Unknown said...

Menurut bapak, diantara ketiga cara penentuan tsb, mana yg terbaik? Kemudian, berapa dimensi ruang sholat yg ideal? Perlu diketahui, 60x120 cm hanyalah sebagai pedoman dalam merencanakan besaran ruang sholat. Arsitek butuh standar dalam merencanakan suatu bangunan, termasuk masjid. Selain utk memperhitungkan luasan bangunan, juga utk menghindari terjadinya ruang sisa yg mubazir. Kemubaziran tidak disukai dalam Islam.
Tanda dan garis shaf juga perlu sebagai pedoman jaamaah dalam meluruskan barisannya. Tidak semua jamaah seperti bapak yg sigap dan dalam waktu singkat bisa meluruskan barisan shafnya. Juga jika tidak ada garis shaf, mestinya perlu waktu utk bersepakat menentukan jarak shaf satu dgn shaf lain. Hal ini tentunya akan memakan waktu. Jika masjidnya hanya diisi oleh satu kaum saja mungkin masih bisa, tapi jika masjidnya adalah masjid raya/umum/agung yg jamaahnya sangat heterogen, akan beresiko shafnya menjadi tidka lurus. Disini arsitek akan berdosa karena tidak memberikan pedoman garis shaf.