Bina-ul-Barakah
Menuju Arsitektur Penuh Keberkahan Allah
Monday, June 18, 2007
[Informasi]: Import, Adapt, Innovate - Mosque Design in the United States
[Informasi]: The Minaret: Symbol of Faith & Power
Among the most distinctive sights in any Islamic city are the minarets, tall slender towers attached to the city’s mosques from which muezzins call the faithful to prayer five times a day. Indeed, the minaret—along with the dome—is one or the most characteristic forms of Islamic architecture, and the sound of the adhan, the call to prayer, is as typical of Cairo or Istanbul or Riyadh as the sound of bells is of Rome. In West and East alike, minarets have become such a distinctive symbol of Islam that political cartoonists use them as shorthand to indicate a Middle Eastern or Islamic setting, and authors and publishers use the word similarly to refer to the Muslim world or Islam itself.
Bishop Kenneth Cragg, for example, titled his classic study of Muslim-Christian relations The Call of the Minaret; the American Friends of the Middle East published the "Minaret" series or pamphlets in the 1950’s; and there are periodicals named Minaret or The Minaret or Manara (the Arabic term) published in the United States, Pakistan, Sweden and several Arab countries—as well as a Web portal of the same name.
In trying to understand how the tower got its special meaning in Islamic societies, scholars have attempted—with mixed success—to trace minarets back to various traditions of tower building in the pre-Islamic cultures of Eurasia. Over a century ago, for example, A. J. Butler, the British historian of Roman Egypt, speculated that the multistoried form of the typical Cairene minaret of the Mamluk period might have been derived from the Pharos (lighthouse) of Alexandria, one of the wonders of the ancient world, which—although long destroyed—is known from descriptions by ancient writers to have been square in the lower part of its shaft, octagonal in the middle and cylindrical at the top (Photo 2). Butler’s contemporary, the German architectural historian Hermann Thiersch, elaborated this theory by publishing a detailed study of the history of the Pharos. He showed that the ancient tower had stood well into Islamic times and could have inspired Mamluk builders in Egypt.
Another group of European scholars sought the minaret’s origins in the ancient nomadic cultures of Central Asia and India. The Austrian art-historian Josef Strzygowski (1862-1941), for example, compared the round brick minarets of Iran and Central Asia to round campaniles in Italy and early medieval round towers in Ireland, and hypothesized that all these towers derived from a common source in the folk arts of the steppe nomads of Asia, who had migrated to western Europe in the early Middle Ages. Ernst Diez (1878-1961), his fellow Austrian and a historian of Islamic art, interpreted minarets similarly as vestiges of the ancient Indo-Aryan practice of erecting wooden posts to represent deities.
Tuesday, June 05, 2007
[Informasi]: Lambang Bulan Sabit dan Bintang
Wallahu a`lam bish-shawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[Informasi]: Pray Between Two Pillars
As-Salamu'alaykum. I have a question about the hadith that states we should not pray between two pillars, because it can cut the saff (line) of jama'ah (congregation). Can you explain to me this hadith status? How wide is the measure between them? Is it enough for one person only or more persons? Jazakumullah khairan.
Wa`alykum As-Salaamu wa Rahmatullahi wa Barakaatuh.
Thursday, November 16, 2006
[Fikrah]: Eksistensi Mihrab dalam Masjid
Mihrab telah diterima oleh umum sebagai bagian dari masjid yakni sebagai ruang imam. Namun interpretasi ilmiah berkata lain dengan mengartikannya sebagai ruang penunjuk arah qiblat yang di adopsi dari bagian ruangan depan gereja atau kuil di Persia.
Mihrab sendiri dalam bahasa arab haraba berarti melawan atau berperang. Beberapa sejarawan menganggap bahwa istilah ini lebih berasal dari Persia yaitu lubang yang tidak tembus atau cekungan (niche) pada kuil Mithraistik.
Apakah mihrab menurut Qur'an dan Hadits?
Mihrab dalam Al Qur'an
Kata mihrab disebutkan tiga kali dalam Al Qur'an: QS. 3:37, QS. 3:39, QS. 19:11. Berikut petikan salah satu ayat:
''Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.'' (QS. Ali Imran (3) : 37)
Menurut penafsiran Dr. Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr. Muhammad Muhsin Khan dalam cetakan al Qur'an King Fahd Complex; Saudi Arabia, mihrab berarti tempat shalat (kecil) atau ruang privasi, namun bukan arah atau penunjuk tempat shalat apalagi ruang imam.
Mihrab dalam Hadits
Kata mihrab juga terdapat pada hadits berikut:
''Dari Wa’il bin Hujr radliyallahu 'anhu berkata, aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika bangkit menuju masjid maka beliau masuk ke mihrab. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. Kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Baihaqi)
Para ulama Hanafiah menjadikan hadits ini sebagai dasar mengapa ada mihrab dalam masjid. Mereka membolehkan mengadakan mihrab dengan apapun itu bentuknya, baik berupa cekungan, lubang yang tidak tembus (misykat) ataukah ruang imam yang jelas (dengan mengadopsi bagian altar gereja).
Beberapa Ulama yang lain memiliki interpertasi lain pada hadits tersebut, karena memang pada jaman Rasulullah saw tidak ada mihrab melainkan sutrah (tanda atau dinding qiblat). Mereka lebih mengartikan kata mihrab dalam hadits ini semata-mata sama dengan kata mushalla (tempat shalat), seperti istilah mihrab dalam al Qur'an, daripada sebagai ruang imam atau ruang atau tanda untuk arah qiblat (Mashalihul Mursalah).
Sebagian ulama yang lainpun tidak menyetujui kehadirannya di dalam masjid, dengan bersandar pada hadits berikut, namun didhaifkan oleh kalangan hanafiah:
Dari Musa Al Juhani berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ummatku ini selalu berada di dalam kebaikan selama mereka tidak menjadikan di dalam masjid-masjid mereka seperti mihrab-mihrabnya orang-orang kristen.” (HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf)
Mereka memberikan pengecualian bersyarat untuk kasus di mana sutrah atau dinding qiblat tidak beda dari dinding lainnya sehingga tidak jelas arah qiblat harus ke mana. Mereka berpendapat jika sudah ada mimbar, maka mihrab tidak perlu, karena cukup dengan mimbar itu saja sudah bisa menjadi petunjuk arah qiblat tempat shalat. Jika tidak ada mimbar maka boleh membuat mihrab kecil ala kadarnya (tanda, garis, cekung atau lubang), tidak mirip altar gereja yakni dengan ruangan besar yang dalam untuk imam, sehingga imam tidak tampak dari sisi kiri dan kanan masjid oleh makmum. Dan mereka juga mengingatkan supaya mihrab yang dibuat tidak menjadi hiasan belaka tanpa membawa manfaat.
Wednesday, November 08, 2006
[Informasi]: Pandangan Keliru dalam Arsitektur Islam
*"Banyak orang muslim dan non muslim yang meragukan fakta bahwa Islam sedikit banyak mempunyai hubungan dengan arsitektur. Keraguan mereka itu disebabkan karena mereka tidak tahu atau keliru, atau karena kedua-duanya (tidak tahu dan keliru)."*
Banyak orang muslim dan non muslim yang meragukan fakta bahwa Islam sedikit banyak mempunyai hubungan dengan arsitektur. Keraguan mereka itu disebabkan karena mereka tidak tahu atau keliru, atau karena kedua-duanya (tidak tahu dan keliru). Pertama, pihak yang tidak tahu : orang-orang muslim yang tidak menyadari bahwa :
1. Di seluruh Dunia Islam, kesatuan arsitektural merupakan satu segi dari kesatuan umat dibawah Islam. Sebelum kedatangan Islam, kesatuan arsitektural belum ada. Sebelumnya, gaya arsitektur dimana-mana saling berbeda. Kesatuan gaya justru muncul bersama Islam, yaitu : saat arsitektur khas Islam mulai mendominasi, dengan memperbolehkan munculnya variasi-variasi untuk hal non-esensial, sehingga gaya tersebut bisa menyesuaikan diri dengan iklim setempat, serta hal-hal istimewa peninggalan nenek moyang atau pakem adat istiadat.
2. Karakteristik gaya-gaya arsitektur yang terdapat di seluruh Dunia Islam dilengkapi dan diilhami oleh Islam. Seluruh standar arsitektural tepat guna pertama-tama diterapkan di Madinah, Baitul Maqdis, Dimasyq, Qayrawan, dan Baghdad, lalu menyebar ke seluruh Dunia Islam, seiring perkembangan dan penyebaran agama Islam.
3. Seperti halnya cabang seni rupa lain, arsitektur merupakan ekspresi keindahan umat Islam, sesuai dengan keunikan serta perbedaan pandangan mereka terhadap realitas, ruang, waktu, sejarah, sikap personal, serta hubungan organiknya dengan ?ummah.? Islam merupakan agama yang lengkap dan sangat komprehensif, baik pandangan hidup maupun kebendaannya. Pengaruh Islam meresap ke seluruh sendi kehidupan. Islam mengatur cara berpakaian, makan, istirahat, bermuamalah, bahkan bersantai atau rekreasi. Tentu saja hal itu sangat mempengaruhi, sangat menentukan kebiasaan manusia. Meskipun faktanya standar arsitektur Islam sepertinya hanya berlaku dalam pembangunan masjid ( dalam hal pemilihan dekorasi, desain atap, kerajinan kayu, sistem penerangan, corak permadani), namun bisa ditelusuri bahwasanya pola dasar tersebut mempengaruhi seluruh gaya arsitektur Islami.
Kedua, pihak yang berpandangan keliru, yaitu kaum muslimin serta para orientalis yang teguh pada tesis : ?Tak ada hubungan antara Islam dan arsitektur.? Menurut mereka, Islam hanya mengatur masalah peribadatan saja. Kelompok sekuler tersebut memandang Islam tidak dapat menentukan hal-hal yang berada diluar daerah religi (ibadat hubungan personal dengan Tuhan). Mereka membagi kehidupan menjadi dua : kehidupan religius dan kehidupan sekuler, sebagaimana tradisional Kristen memisahkan kerajaan Tuhan dan Kaisar, sehingga terjadi pemisahan kehidupan gereja dan negara. Mereka (kelompok sekuler) mengetahui bahwa ajaran Islam itu lengkap dan meliputi seluruh sendi kehidupan. Mereka sengaja berusaha untuk melemahkan hukum Islam, agar pengaruh-pengaruh keislaman yang memang universal dan berjangkauan luas bisa ditekan sedemikian rupa. Tampaknya mereka takut hukum Islam menyentuh hukum agama atau undang-undang sekuler mereka, sampai mencampuri etika berpikir serta estetika keseniannya. Kaum subversifpun mencoba menyingkirkan Islam dari kancah kegiatan manusia, dengan mengusung gagasan baru yang tidak islami, seperti : nasionalisme, kristenisasi, westernisasi, dan komunisme. Faktor gagasan baru tersebut berupaya menyimpangkan arsitektur sebagai ekspresi aspirasi manusia tertinggi dan termulia. Akhirnya, faktor-faktor itupun mengubah orientasi arsitektur menjadi hanya sebatas pengisi kebutuhan dasar dan kegunaan, atau menghubungkan tema-tema arsitektur dengan unsur alam- sejenis penyembahan berhala dari neo-Hellenisme- sebagai usaha peniruan secara membabi-buta terhadap Barat modern.
*Professor masalah pengkajian Dinul Islam di
[Informasi]: Penemu Metode Arah Kiblat, Siapakah Dia?
Selama berabad-abad Muslim di seluruh dunia menjalan petunjuk dalam Al-Quran, agar menghadap Qiblat di Mekkah ketika sholat. “… Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya ….” (Alquran 2;144)
Namun, bagi umat Islam yang jaraknya ribuan mil dari kota Makkah, bukan hal yang gampang untuk menemukan arah yang benar untuk sholat atau arah Qiblat. Masalah ini sering menimbulkan kontroversi.
Beberapa mesjid di Kairo, Mesir mempertimbangkan dua arah Qiblat yang berbeda dengan besaran sudut sebesar 10 derajat antara arah satu dengan yang lain, bila diambil garis lurus dari dinding luar mesjid dan dari dinding dalam mesjid.Di Amerika Utara, umat Islam mengambil arah Timur Laut sebagai arah Qiblat, berdasarkan rute lingkaran besar ( jarak terpendek permukaan bumi ) ke arah kota Makkah, sementara umat Islam lainnya mengambil arah Tenggara.
Umat Islam yang hidup di abad pertengahan, menggunakan hitungan matematika yang canggih untuk memecahkan kesulitan dalam menentukan arah Qiblat, sebelum masyarakat Eropa berhasil menemukan metoda yang sama. Ketika orang-orang Eropa meyakini bahwa permukaan bumi rata, para ilmuwan Islam sudah membuat koreksi tentang lengkungan permukaan bumi. Dua bentuk alat yang berhasil ditemukan, membuktikan bahwa ahli matematika Islam pada saat itu jauh lebih maju. Peta dunia dengan pusat kota Makkkah, menunjukkan arah dan jarak ke kota Makkah, dari berbagai tempat di dunia bagi umat Islam di abad pertengahan, dan mereka sudah membuatnya dalam bentuk peta ‘timbul’ yang baru dikenal di oleh dunia barat pada abad ke-20.
Pakar sejarah dari Johann Wolgang Universitas Goethe di Frankfurt, Jerman, David King mengungkapkan,”Saya sudah melakukan penelitian tentang arah Qiblat selama 20 tahun, dan penemuan peta ini sangat mengejutkan saya”. Selama 10 tahun terakhir, King berusaha menemukan siapa pembuat peta-peta itu, dan siapa yang lebih penting siapa yang mendisainnya. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa peta-peta timbul tersebut dibuat dekat Isfahan, atau yang dikenal dengan negara Iran sekarang, pada saat pemerintahan dinasti Safavid (1502-1722). King meyakini, petak-petak pada peta yang menjadi bagian yang istimewa dari peta tersebut, sudah ditemukan berabad-abad sebelumnya.
Satu dari dua peta bersejarah itu muncul pada tahun 1989, dalam pelelangan di pusat lelang Sotheby, London. Peta yang kedua, dimiliki oleh seorang kolektor yang tidak bersedia disebutkan namanya, yang membeli peta tersebut dari seorang pedagang barang-barang antik di Paris pada tahun 1995. Kedua peta itu sangat mirip, dan diperkirakan berasal dari tempat pembuatan yang sama. Peta-peta tersebut memiliki lebar sekitar 9 inci, dan aslinya dilengkapi dengan 3 alat yaitu kompas, jam matahari, dan alat penunjuk berputar, yang menunjukkan arah dan jarak ke kota Makkah. Peta-peta itu juga menggambarkan garis lintang dan garis bujur, dimana garis lintang digambarkan dengan garis melingkar sedangkan garis bujur digambarkan dengan garis vertical. Lebih dari 100 lubang terdapat pada peta yang terbuat dari campuran tembaga dan timah itu, yang menunjukkan berbagai lokasi berbeda ke arah kota Mekah sebagai pusatnya. Karena fungsinya bukan sebagai alat navigasi, peta-peta penunjuk arah Qiblat itu tidak seperti peta yang kita kenal pada umumnya. Peta tersebut tidak memberikan keterangan daratan, lautan atau sungai.
“Hal itu tidak mengherankan, karena yang mereka butuhkan adalah keterangan tentang garis lengkung permukaan bumi dan motivasi untuk menemukan arah Qiblat,” ungkap seorang ahli sejarah matematika Len Berggren dari Universitas Simon Fraser di Vancouver, Canada. “Yang menjadi kejutan adalah ide membuat peta itu dalam bentuk menyembul,” tambahnya. Bukan hanya garis bujur dan garis lintang yang keduanya menjadi penemuan yang belum pernah terjadi di dunia Islam, tapi ukuran-ukurannya pun sangat tepat sehingga jarak ke kota Mekah dalam petunjuk tersebut, sesuai dengan jarak seperti yang ada sekarang. Kalau garis-garis itu hanya berupa garis lurus, maka teori untuk menemukan arah Qiblat pada peta itu tidak berlaku.
Menurut King, para pembuat peta di Isfahan tidak pernah mengerjakan bentuk lengkung dalam peta itu sendiri, mereka juga melibatkan pakar astronomi bukan para ahli matematika.
Lantas darimana model asli penunjuk Qiblat sebenarnya berasal ? Menurut perkiraan King, pada awal abad ke-19, para ahli astronomi Islam sudah merancang metode untuk menghitung arah Qiblat. Seiring dengan munculnya metode, King menduga peta-peta penunjuk arah Qiblat juga mulai dibuat. Sementara itu, rekan King di Universitas Goethe Francois Charette berteori, bahwa garis lengkung dalam peta untuk menerjemahkan bentuk sama dalam kartografi ( penggambaran peta ). Dugaan lainnya, peta itu didisain oleh seorang pakar yang sangat menguasai ilmu trigonometri. King memperkirakan pelopornya adalah Abu ‘I-Rayhan Al-Biruni (973-1048) ilmuwan Islam abad pertengahan yang hidup di Ghazna, (sekarang Afghanistan) yang juga menulis sejumlah bukun yang sangat berpengaruh, yang membahas secara mendalam tentang Qiblat.
Namun dalam katalog yang dibuat oleh balai lelang Sotheby, saat pelelangan peta itu menuliskan bahwa peta-peta itu merupakan inspirasi bangsa Eropa Barat, dan instrumen bersejarah itu adalah bukti dari hasil asimilasi ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa dan teknologi di Persia pada abad ke-18. Namun interpretasi itu dibantah keras oleh King, dengan mengacu pada bentuk fisik dan bukti sejarah. King berargumentasi, meski para pakar matematika Eropa juga melakukan penelitian untuk menemukan arah Qiblat, ada kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa formula tentang bagaimana menemukan arah Qiblat sudah dilakukan oleh ilmuwan Islam pada abad ke-9. Tidak ada bukti para ilmuwan Eropa yang ada di Persia pada saat itu membawa alat seperti peta dengan kota Mekah sebagai pusatnya.
Sampai hari ini, tidak ada petunjuk lain yang memberi titik terang tentang dari mana sebenarnya asal peta penunjuk arah Qiblat itu berasal. Masalahnya, banyak naskah-naskah dalam bahasa Arab yang tidak dipelajari dan dikatalogkan di perpustakaan-perpustakaan di dunia. Naskah-naskah it bisa jadi memuat keterangan-keterangan bagaimana umat Islam pada jaman dahulu menentukan arah Qiblat, dengan metode yang belum dikenal sebelumnya. (MA/ln/islamicity)
[Artikel]: Menghias RumahNya
Sebuah mesjid saat ini ramai diangkat sebagai berita di saluran TV. Mesjid ini menjadi berita karena kabar kemegahannya. Berada dalam kompleks seluas 10 ha, dihiasi dengan kubah terbuat dari emas dan pilar-pilar yang terbuat dari marmer, cukup dapat membuat tercengang setiap orang yang melihatnya.
Melihat mesjid ini, timbul pertanyaan yang sedikit menggelitik benak saya. Apakah pantas membuat sesuatu yang terlihat mewah, megah dan mahal ketika masih ada mereka yang fakir disekitarnya? Apakah ini bukan yang dinamakan berlebih-lebihan, walaupun ditujukan untuk menghias rumahNya?
Contoh lain sebuah masjid di bilangan Kebayoran Baru, dimana lantai 2 yang menjadi tempat bagi jamaah muslimah terasa amat sangat panas akibat aliran udara yang tidak lancar. Aliran udara terhambat akibat lubang-lubang yang sedianya menjadi ventilasi aliran udara ditutup dengan kaca patri beraneka warna ornament hiasan masjid. Disatu sisi menyuguhkan keindahan secara visual, di sisi lainnya justru menurunkan nilai fungsi si lubang ventilasi tadi sehingga menghambat kegiatan ibadah didalamnya.
Selain itu banyak masjid yang dari luar terlihat megah dan dihias dengan indah tetapi memiliki fasilitas kamar mandi dan berwudhu yang cukup memprihatinkan. Banyak keran air ditempat wudhu yang rusak atau bocor, pintu kamar mandi yang telah jebol atau bahkan aliran air buangan yang menggenang. Berwudhu dimana menjadi salah satu bagian penting dalam ritual beribadah seharusnya mendapatkan fasilitas yang lebih memadai, nyaman, dan terjamin kebersihannya.
Tak ada yang salah dengan niatan menghias rumahNya selama dilakukan sesuai dengan syariah dan tidak berlebih-lebihan. Sebuah masjid sederhana akan lebih terasa bermakna ketika dapat menawarkan kenyamanan beribadah. Masjid yang terpelihara kebersihan dan kerapiannya, pemisahan shaf yang tertib antara jamaah laki-laki dan perempuan serta dilengkapi dengan fasilitas berwudhu yang memadai. Sebuah masjid dimana suara lantunan ayat suci Al Quran menjadi penghiasnya. Sebuah masjid yang bermegah-megahan dengan banyaknya jumlah jamaah yang dengan setia menyapa dan memujaNya.
Sunday, September 17, 2006
[Fiqh-ul-Bina']: Penataan Ruang Masjid (Bagian 3)
Sifat-sifat Mimbar Nabi
Dari Berbagai Sumber
Hadis riwayat Muslim dari Sahal bin Saad radiyallahu ‘anhu : Bahwa beberapa orang menemui Sahal bin Saad. Mereka berselisih mengenai jenis kayu mimbar Rasul. Lalu kataku (Sahal): Demi Allah saya benar-benar tahu jenis kayu mimbar itu dan siapa pembuatnya. Aku sempat melihat pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. duduk di atas mimbar itu. Abu Hazim berkata: Aku katakan kepada Abu Abbas: Ceritakanlah! Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah mengutus seseorang kepada istri Abu Hazim. Abu Hazim berkata bahwa beliau pada hari itu akan memberi nama anaknya, beliau bersabda: Lihatlah anakmu yang berprofesi tukang kayu. Dia telah membuatkan aku sebuah tempat di mana aku berbicara di hadapan orang. Dia telah membuatnya tiga anak tangga. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. menyuruh meletakkannya di tempat ini. Mimbar tersebut berasal dari kayu hutan. Aku sempat melihat Rasulullah berdiri di mimbar sambil membaca takbir yang diikuti oleh para sahabat. Setelah beberapa lama berada di atas mimbar, beliau turun mengundurkan diri lalu melakukan sujud di dasar mimbar. Kemudian beliau kembali hingga beliau selesai salat. Setelah itu beliau menghadap ke arah para sahabat dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya tadi aku lakukan hal itu agar kalian mengikuti aku dan kalian dapat belajar tentang salatku.”
Dari Abdul Aziz bin Abi Hazim dari bapaknya bahwasanya sekelompok orang mendatangi Sahl bin Sa’ad sedang mereka berselisih pendapat tentang masalah mimbar. Maka Abu Hazim berkata : “Adapun aku, demi Allah, sungguh aku mengetahuinya dari kayu apa mimbar tersebut dibuat dan siapa yang membuatnya. Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada hari pertama beliau duduk di atasnya.” Berkata Abdul Aziz, aku katakan kepadanya : “Wahai Abu Abbas, khabarkanlah kepada kami!” Dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyampaikan kepada seorang wanita --Berkata Abu Hazim : “Sesungguhnya beliau menyebutkan namanya pada hari itu”-- : “Temuilah budak kamu yang tukang kayu untuk membuat mimbarku yang di atas mimbar itu aku berceramah kepada manusia.” Maka budak tersebut membuat mimbar ini tiga tingkatan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyuruh untuk diletakkan di tempat ini. Mimbar tersebut terbuat dari pangkal pohon hutan. Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri di atasnya kemudian beliau bertakbir (shalat) dan bertakbirlah manusia yang ada di belakangnya sedang beliau tetap di atas mimbar. Kemudian beliau (ruku’) lalu bangkit dari ruku’ kemudian beliau turun dari mimbar (dengan berjalan mundur) sampai beliau sujud di dasar mimbar kemudian mengulanginya lagi sampai akhir shalatnya. Setelah itu beliau menghadap manusia dan bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya aku lakukan yang demikian agar kalian mengikuti dan mempelajari shalatku.” (HR. Muslim dalam Kitabul Masajid bab Jawazul Khuthulah ulal Khuthasataini fis Shalah hadits ke-44)
Lafadh hadits :
فعمل هذه الثلاث درجاة
Imam An Nawawi berkata : “Pada hadits tersebut terdapat keterangan yang jelas bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tiga tingkat.”
Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri pada hari Jum’at sambil menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang menancap di masjid, berkhutbah kepada manusia, kemudian datang seorang Rumi dan berkata : “Alangkah baiknya kalau aku buatkan untuk Anda (Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) sesuatu yang Anda duduk padanya sedangkan engkau seperti berdiri!” Maka dia membuat mimbar untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam duduk pada tingkat yang ketiga. Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam duduk di atas mimbar tersebut, pohon (yang tadinya dipakai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersandar) mengeluarkan suara seperti teriakan sapi sampai-sampai masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terguncang, sedih karena ditinggalkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam turun mendekatinya kemudian memeluknya sedang pohon tadi terus mengeluarkan suara. Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di tangan-Nya, kalau aku tidak memeluknya, ia akan terus mengeluarkan suara sampai hari kiamat (sedih karena ditinggalkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Maka beliau memerintah (shahabatnya untuk membuat lubang) dan menguburkan pohon tersebut. (HR. Ad Darimi dalam Muqadimah nomor 6 bab Maa Akraman Nabi bi Haninil Mimbar dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam As Shahihul Musnad 1/76-77).
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika badanya gemuk, Tamim Ad Dary berkata kepadanya : “Alangkah baiknya kalau aku buatkan sebuah mimbar untukmu, ya Rasulullah, yang akan menopang tubuh Anda!” Rasulullah menjawab : “Ya.” Maka dia membuat mimbar untuk Rasulullah dua tingkat. (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Abu Dawud Kitabus Shalah bab Ittikhadzul Mimbar nomor 958 [1081])
Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu, dia berkata : Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika berkhutbah pada hari Jum’at menyandarkan punggungnya kepada sepotong kayu, maka ketika manusia semakin banyak beliau bersabda : “Buatkan untukku mimbar.” Beliau ingin (suaranya) terdengar oleh mereka, maka mereka membuat mimbar untuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat kemudian beliau pindah dari kayu tersebut dan menggunakan mimbar … . (HR. Ahmad 3/226)
Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam shalat menghadap ke arah pangkal pohon ketika masjid masih berwujud bangsal. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah pada pangkal pohon tersebut, maka salah seorang dari shahabatnya berkata : “Apakah perlu kami buatkan untuk Anda sesuatu yang Anda berdiri di atasnya pada hari Jum’at sehingga manusia melihat Anda dan Anda dapat memperdengarkan kepada mereka khutbah Anda?” Nabi menjawab : “Ya.” Maka dibuatkan baginya mimbar tiga tingkat dan itu merupakan mimbar yang paling tinggi. Mereka meletakkannya di tempat yang biasa beliau tempati … . (HR. Ibnu Majah Kitab Iqamatush Shalah bab Maa Ja’a fi Sya’nil Mimbar 199 dan Abu Nu’aim)
Dari Sahl bin Sa’ad As Saidi radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam biasa berdiri di atas kayu yang berada di masjid ketika berkhutbah, maka ketika jumlah manusia semakin banyak, dikatakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, kalau aku buat sebuah mimbar sehingga kau berada lebih tinggi dari manusia dengannya?” Maka beliau mengutus seseorang untuk menemui tukang kayu kemudian aku pergi dengannya sampai masuk hutan (dalam suatu riwayat) lalu menebang pangkal pohon. Kemudian dia membuatnya dan kami membawanya. Mimbar tersebut dua tingkat dan tingkat yang ketiga adalah tempat duduk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (HR. Abu Nu’aim)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata : ''Sampai kepada kami hadits dari Salamah bin Al Akwa’ bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan duduk dengan dua duduk. Orang yang menyampaikan khabar kepadaku mengatakan : “Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri pada tingkat di bawah tempat duduk istirahat (yaitu tingkat kedua). Kemudian beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan salam lalu duduk pada tempat duduk istirahat (yaitu tingkat ketiga) sampai muadzin selesai adzan. Kemudian beliau berdiri berkhutbah kemudian duduk dan berdiri lagi untuk khutbah kedua.”
Saturday, September 16, 2006
[Informasi]: Jalan Panjang Rumah Tuhan
Oleh: BAMBANG SETIA BUDI
Sumber: Gatra
TIPE bentuk masjid di Indonesia berasal dari masjid Jawa. Demikian menurut penelitian ilmuwan Belanda, G.F. Pijper. Ia merinci, ada enam karakter umum tipe masjid Jawa. Yakni berdenah bujur sangkar. Lantainya berada pada fundamen yang massif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil, seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten).
Atapnya berbentuk tumpang, terdiri dari dua hingga lima tumpukan, mengerucut ke satu titik di puncaknya. Masjid punya ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab. Ada beranda di depan atau samping masjid, biasanya disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Juga punya ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian depan.
Beberapa ilmuwan lainnya juga mendeskripsikan karakteristik masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan. Yang jelas, ciri bentuk masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik. Serta menunjukkan perbedaan mencolok dibandingkan dengan bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia.
Pendapat Pijper tentang tipe bentuk masjid di Indonesia itu digarisbawahi oleh hampir semua ilmuwan. Bahkan banyak yang menyebutkan, pengaruh bentuk arsitektur masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Filipina (Mindanao). Pendapat itu, antara lain, dikemukakan oleh akademisi Australia Hugh O'neill dalam buku The Mosque History Architectural Development and Regional Diversity (1994).
Sampai pada titik ini, banyak kalangan tampak berpandangan sama. Namun, ketika dihadapkan pada pertanyaan dari mana sebenarnya asal-usul bentuk masjid Jawa yang unik dan khas ini, akan mencuat perbedaan pendapat dan perdebatan yang tak terelakkan. Berikut saya paparkan rangkuman silang pendapat tentang asal-usul masjid Jawa dari para scholar.
Pendapat yang paling awal datang dari seorang ilmuwan Belanda bernama K. Hidding di tahun 1933 dalam tulisannya berjudul: "Het bergemotief in eenige godsdienstige verschinjnselen op Java". Hidding mengaitkan antara bentuk atap masjid Jawa yang tinggi menjulang dan bentuk gunung yang disucikan.
Asumsi Hidding ini juga mendapat dukungan sejarawan terkenal Belanda H.J. de Graff dalam tulisannya: "De Oorsprong der Javaanse Moskee", di tahun 1947-1948. Graff menegaskan, bentuk atap masjid seperti itu memang diturunkan dari bentuk gunung, karena ia merupakan suatu bentuk yang suci dan sakral dalam tradisi Hindu-Jawa.
Sedangkan peneliti J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Buddha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca. Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.
Baik Hidding maupun Rouffer tidak mempertimbangkan aspek fisik, khususnya teknik dan konstruksi bangunan. Mereka hanya menginterpretasikan bentuk umum dikaitkan dengan pandangan religi. Padahal, semua pandangan dan interpretasi metafisik saja tidaklah cukup untuk menjelaskan keterkaitan segi-segi fisik atau arsitektural sebuah bangunan. Selain kurang rasional, pandangan seperti ini juga sering absurd, sehingga tidak mudah diterima begitu saja oleh banyak kalangan, khususnya sejarawan arsitek.
Di tahun 1935, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim dalam bukunya berjudul Leerboek der Indische cultuuregeschiedenis, Vol. 3, ''De Islam en zijn komst in den archipel'', menyebutkan, masjid Jawa itu diturunkan dari bentuk bangunan besar komunitas, yang ia sebut sebagai hanenklopbaan seperti kalau di Bali disebut wantilan (tempat sabung ayam). Sayangnya, teori ini tidak didukung dengan argumen lebih lanjut.
Pandangan yang disertai argumen cukup meyakinkan mungkin dari Pijper dalam makalahnya berjudul The Minaret in Java (1947). Setelah menyebut karakteristik masjid Jawa, ia juga menyimpulkan bahwa bentuk itu tidak mungkin berasal dari struktur luar yang dibawa ke negeri ini melalui para pendakwah dari luar negeri.
Pijper yakin, ada suatu bentuk lokal dan asli yang diadaptasikan sesuai kebutuhannya hingga menjadi bentuk bangunan ibadah. Argumennya, denah bujur sangkar sudah sangat lazim digunakan pada struktur-struktur seni bangunan Hindu-Jawa seperti candi, dan tidaklah sulit mendapatkan contoh struktur lantai dinaikkan dengan fundamen massif seperti itu.
Atap yang bertumpuk dan mengerucut pada satu titik seperti itu jelas mengidentifikasikan orisinalitas dari bangunan pra-Islam, misalnya bentuk meru. Bahkan Pijper berpandangan, atap tumpuk lima Masjid Agung Banten maupun pada lukisan tua Masjid Jepara di abad ke-17 adalah kelangsungan dari meru.
Sejarawan H.J. de Graff menolak pandangan ini. Ia menentang khususnya teori Stutterheim yang menyebutkan, bangunan masjid Jawa berasal dari wantilan atau fighting-cock-court di Bali. Alasannya, bangunan itu adalah profan. Tidak mungkin umat Islam mau beribadah dalam bangunan profan seperti itu. Lagi pula, bangunan wantilan itu tidak bertingkat.
Terlebih lagi bangunan semacam itu hanya ada di Bali, tidak mungkin bisa memberi pengaruh ke seluruh Indonesia. Graff menyarankan untuk mengaitkan masjid Jawa dengan bangunan kayu yang ada di India, khususnya masjid di Malabar. Pertimbangnnya, batu nisan yang pernah ditemukan di Gresik juga berasal dari India (Gujarat). Selain itu, Masjid Kashmir dari kayu juga perlu dipertimbangkan.
Anjuran untuk merujuk ke bangunan India yang ditawarkan Graff ditampik arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto. Meskipun atapnya sama (tumpang), menurut Wirjosuparto, denah masjid di Malabar itu persegi panjang dan tidak dikelilingi oleh air. Ia menegaskan, asal-usul masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya, denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid.
Kalau ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat, sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo. Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, ''mandhapa'', erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India.
Juga sulit menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia menjadi bangunan terpenting. Selain itu, hipotesis joglo juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.
Yang terakhir adalah hipotesis ilmuwan Prancis, Claude Guillot (1985), dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise. Ia menyimpulkan, arsitektur masjid Jawa dipengaruhi secara kuat oleh arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di Cina.
Adapun untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap "cungkup" kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya, lebih dulu yang mana: masjid atau cungkup? Apalagi atap cungkup jarang yang tumpuk, kecuali pada atap cungkup makam Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur.
Kalau demikian, dari manakah asal-usul masjid Jawa itu? Jalan masih panjang untuk sampai pada teori yang paling meyakinkan tentang asal-usulnya. Masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kongkret lagi, baik bukti arkeologis, sejarah, maupun argumentasi arsitektur.
Mungkin yang paling prospektif untuk ditelusuri adalah pandangan yang menyebutkan bahwa masjid Jawa, rumah Tuhan yang beratap tumpang itu, berasal dari bangunan lokal yang diadaptasikan.
*Peneliti arsitektur masjid Nusantara, dosen arsitektur ITB, baru saja telah menyelesaikan program doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang