Sunday, September 17, 2006

[Fiqh-ul-Bina']: Penataan Ruang Masjid (Bagian 3)


Sifat-sifat Mimbar Nabi
Dari Berbagai Sumber

Hadis riwayat Muslim dari Sahal bin Saad radiyallahu ‘anhu : Bahwa beberapa orang menemui Sahal bin Saad. Mereka berselisih mengenai jenis kayu mimbar Rasul. Lalu kataku (Sahal): Demi Allah saya benar-benar tahu jenis kayu mimbar itu dan siapa pembuatnya. Aku sempat melihat pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. duduk di atas mimbar itu. Abu Hazim berkata: Aku katakan kepada Abu Abbas: Ceritakanlah! Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah mengutus seseorang kepada istri Abu Hazim. Abu Hazim berkata bahwa beliau pada hari itu akan memberi nama anaknya, beliau bersabda: Lihatlah anakmu yang berprofesi tukang kayu. Dia telah membuatkan aku sebuah tempat di mana aku berbicara di hadapan orang. Dia telah membuatnya tiga anak tangga. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. menyuruh meletakkannya di tempat ini. Mimbar tersebut berasal dari kayu hutan. Aku sempat melihat Rasulullah berdiri di mimbar sambil membaca takbir yang diikuti oleh para sahabat. Setelah beberapa lama berada di atas mimbar, beliau turun mengundurkan diri lalu melakukan sujud di dasar mimbar. Kemudian beliau kembali hingga beliau selesai salat. Setelah itu beliau menghadap ke arah para sahabat dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya tadi aku lakukan hal itu agar kalian mengikuti aku dan kalian dapat belajar tentang salatku.”

Dari Abdul Aziz bin Abi Hazim dari bapaknya bahwasanya sekelompok orang mendatangi Sahl bin Sa’ad sedang mereka berselisih pendapat tentang masalah mimbar. Maka Abu Hazim berkata : “Adapun aku, demi Allah, sungguh aku mengetahuinya dari kayu apa mimbar tersebut dibuat dan siapa yang membuatnya. Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada hari pertama beliau duduk di atasnya.” Berkata Abdul Aziz, aku katakan kepadanya : “Wahai Abu Abbas, khabarkanlah kepada kami!” Dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyampaikan kepada seorang wanita --Berkata Abu Hazim : “Sesungguhnya beliau menyebutkan namanya pada hari itu”-- : “Temuilah budak kamu yang tukang kayu untuk membuat mimbarku yang di atas mimbar itu aku berceramah kepada manusia.” Maka budak tersebut membuat mimbar ini tiga tingkatan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyuruh untuk diletakkan di tempat ini. Mimbar tersebut terbuat dari pangkal pohon hutan. Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri di atasnya kemudian beliau bertakbir (shalat) dan bertakbirlah manusia yang ada di belakangnya sedang beliau tetap di atas mimbar. Kemudian beliau (ruku’) lalu bangkit dari ruku’ kemudian beliau turun dari mimbar (dengan berjalan mundur) sampai beliau sujud di dasar mimbar kemudian mengulanginya lagi sampai akhir shalatnya. Setelah itu beliau menghadap manusia dan bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya aku lakukan yang demikian agar kalian mengikuti dan mempelajari shalatku.” (HR. Muslim dalam Kitabul Masajid bab Jawazul Khuthulah ulal Khuthasataini fis Shalah hadits ke-44)

Lafadh hadits :
فعمل هذه الثلاث درجاة
Imam An Nawawi berkata : “Pada hadits tersebut terdapat keterangan yang jelas bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tiga tingkat.”

Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri pada hari Jum’at sambil menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang menancap di masjid, berkhutbah kepada manusia, kemudian datang seorang Rumi dan berkata : “Alangkah baiknya kalau aku buatkan untuk Anda (Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) sesuatu yang Anda duduk padanya sedangkan engkau seperti berdiri!” Maka dia membuat mimbar untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam duduk pada tingkat yang ketiga. Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam duduk di atas mimbar tersebut, pohon (yang tadinya dipakai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersandar) mengeluarkan suara seperti teriakan sapi sampai-sampai masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terguncang, sedih karena ditinggalkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam turun mendekatinya kemudian memeluknya sedang pohon tadi terus mengeluarkan suara. Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di tangan-Nya, kalau aku tidak memeluknya, ia akan terus mengeluarkan suara sampai hari kiamat (sedih karena ditinggalkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Maka beliau memerintah (shahabatnya untuk membuat lubang) dan menguburkan pohon tersebut. (HR. Ad Darimi dalam Muqadimah nomor 6 bab Maa Akraman Nabi bi Haninil Mimbar dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam As Shahihul Musnad 1/76-77).

Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika badanya gemuk, Tamim Ad Dary berkata kepadanya : “Alangkah baiknya kalau aku buatkan sebuah mimbar untukmu, ya Rasulullah, yang akan menopang tubuh Anda!” Rasulullah menjawab : “Ya.” Maka dia membuat mimbar untuk Rasulullah dua tingkat. (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Abu Dawud Kitabus Shalah bab Ittikhadzul Mimbar nomor 958 [1081])

Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu, dia berkata : Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika berkhutbah pada hari Jum’at menyandarkan punggungnya kepada sepotong kayu, maka ketika manusia semakin banyak beliau bersabda : “Buatkan untukku mimbar.” Beliau ingin (suaranya) terdengar oleh mereka, maka mereka membuat mimbar untuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat kemudian beliau pindah dari kayu tersebut dan menggunakan mimbar … . (HR. Ahmad 3/226)

Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam shalat menghadap ke arah pangkal pohon ketika masjid masih berwujud bangsal. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah pada pangkal pohon tersebut, maka salah seorang dari shahabatnya berkata : “Apakah perlu kami buatkan untuk Anda sesuatu yang Anda berdiri di atasnya pada hari Jum’at sehingga manusia melihat Anda dan Anda dapat memperdengarkan kepada mereka khutbah Anda?” Nabi menjawab : “Ya.” Maka dibuatkan baginya mimbar tiga tingkat dan itu merupakan mimbar yang paling tinggi. Mereka meletakkannya di tempat yang biasa beliau tempati … . (HR. Ibnu Majah Kitab Iqamatush Shalah bab Maa Ja’a fi Sya’nil Mimbar 199 dan Abu Nu’aim)

Dari Sahl bin Sa’ad As Saidi radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam biasa berdiri di atas kayu yang berada di masjid ketika berkhutbah, maka ketika jumlah manusia semakin banyak, dikatakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, kalau aku buat sebuah mimbar sehingga kau berada lebih tinggi dari manusia dengannya?” Maka beliau mengutus seseorang untuk menemui tukang kayu kemudian aku pergi dengannya sampai masuk hutan (dalam suatu riwayat) lalu menebang pangkal pohon. Kemudian dia membuatnya dan kami membawanya. Mimbar tersebut dua tingkat dan tingkat yang ketiga adalah tempat duduk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (HR. Abu Nu’aim)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata : ''Sampai kepada kami hadits dari Salamah bin Al Akwa’ bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan duduk dengan dua duduk. Orang yang menyampaikan khabar kepadaku mengatakan : “Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri pada tingkat di bawah tempat duduk istirahat (yaitu tingkat kedua). Kemudian beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan salam lalu duduk pada tempat duduk istirahat (yaitu tingkat ketiga) sampai muadzin selesai adzan. Kemudian beliau berdiri berkhutbah kemudian duduk dan berdiri lagi untuk khutbah kedua.”

Saturday, September 16, 2006

[Informasi]: Jalan Panjang Rumah Tuhan


Oleh: BAMBANG SETIA BUDI
Sumber: Gatra

TIPE bentuk masjid di Indonesia berasal dari masjid Jawa. Demikian menurut penelitian ilmuwan Belanda, G.F. Pijper. Ia merinci, ada enam karakter umum tipe masjid Jawa. Yakni berdenah bujur sangkar. Lantainya berada pada fundamen yang massif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil, seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten).

Atapnya berbentuk tumpang, terdiri dari dua hingga lima tumpukan, mengerucut ke satu titik di puncaknya. Masjid punya ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab. Ada beranda di depan atau samping masjid, biasanya disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Juga punya ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian depan.

Beberapa ilmuwan lainnya juga mendeskripsikan karakteristik masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan. Yang jelas, ciri bentuk masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik. Serta menunjukkan perbedaan mencolok dibandingkan dengan bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia.

Pendapat Pijper tentang tipe bentuk masjid di Indonesia itu digarisbawahi oleh hampir semua ilmuwan. Bahkan banyak yang menyebutkan, pengaruh bentuk arsitektur masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Filipina (Mindanao). Pendapat itu, antara lain, dikemukakan oleh akademisi Australia Hugh O'neill dalam buku The Mosque History Architectural Development and Regional Diversity (1994).

Sampai pada titik ini, banyak kalangan tampak berpandangan sama. Namun, ketika dihadapkan pada pertanyaan dari mana sebenarnya asal-usul bentuk masjid Jawa yang unik dan khas ini, akan mencuat perbedaan pendapat dan perdebatan yang tak terelakkan. Berikut saya paparkan rangkuman silang pendapat tentang asal-usul masjid Jawa dari para scholar.

Pendapat yang paling awal datang dari seorang ilmuwan Belanda bernama K. Hidding di tahun 1933 dalam tulisannya berjudul: "Het bergemotief in eenige godsdienstige verschinjnselen op Java". Hidding mengaitkan antara bentuk atap masjid Jawa yang tinggi menjulang dan bentuk gunung yang disucikan.

Asumsi Hidding ini juga mendapat dukungan sejarawan terkenal Belanda H.J. de Graff dalam tulisannya: "De Oorsprong der Javaanse Moskee", di tahun 1947-1948. Graff menegaskan, bentuk atap masjid seperti itu memang diturunkan dari bentuk gunung, karena ia merupakan suatu bentuk yang suci dan sakral dalam tradisi Hindu-Jawa.

Sedangkan peneliti J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Buddha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca. Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.

Baik Hidding maupun Rouffer tidak mempertimbangkan aspek fisik, khususnya teknik dan konstruksi bangunan. Mereka hanya menginterpretasikan bentuk umum dikaitkan dengan pandangan religi. Padahal, semua pandangan dan interpretasi metafisik saja tidaklah cukup untuk menjelaskan keterkaitan segi-segi fisik atau arsitektural sebuah bangunan. Selain kurang rasional, pandangan seperti ini juga sering absurd, sehingga tidak mudah diterima begitu saja oleh banyak kalangan, khususnya sejarawan arsitek.

Di tahun 1935, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim dalam bukunya berjudul Leerboek der Indische cultuuregeschiedenis, Vol. 3, ''De Islam en zijn komst in den archipel'', menyebutkan, masjid Jawa itu diturunkan dari bentuk bangunan besar komunitas, yang ia sebut sebagai hanenklopbaan seperti kalau di Bali disebut wantilan (tempat sabung ayam). Sayangnya, teori ini tidak didukung dengan argumen lebih lanjut.

Pandangan yang disertai argumen cukup meyakinkan mungkin dari Pijper dalam makalahnya berjudul The Minaret in Java (1947). Setelah menyebut karakteristik masjid Jawa, ia juga menyimpulkan bahwa bentuk itu tidak mungkin berasal dari struktur luar yang dibawa ke negeri ini melalui para pendakwah dari luar negeri.

Pijper yakin, ada suatu bentuk lokal dan asli yang diadaptasikan sesuai kebutuhannya hingga menjadi bentuk bangunan ibadah. Argumennya, denah bujur sangkar sudah sangat lazim digunakan pada struktur-struktur seni bangunan Hindu-Jawa seperti candi, dan tidaklah sulit mendapatkan contoh struktur lantai dinaikkan dengan fundamen massif seperti itu.

Atap yang bertumpuk dan mengerucut pada satu titik seperti itu jelas mengidentifikasikan orisinalitas dari bangunan pra-Islam, misalnya bentuk meru. Bahkan Pijper berpandangan, atap tumpuk lima Masjid Agung Banten maupun pada lukisan tua Masjid Jepara di abad ke-17 adalah kelangsungan dari meru.

Sejarawan H.J. de Graff menolak pandangan ini. Ia menentang khususnya teori Stutterheim yang menyebutkan, bangunan masjid Jawa berasal dari wantilan atau fighting-cock-court di Bali. Alasannya, bangunan itu adalah profan. Tidak mungkin umat Islam mau beribadah dalam bangunan profan seperti itu. Lagi pula, bangunan wantilan itu tidak bertingkat.

Terlebih lagi bangunan semacam itu hanya ada di Bali, tidak mungkin bisa memberi pengaruh ke seluruh Indonesia. Graff menyarankan untuk mengaitkan masjid Jawa dengan bangunan kayu yang ada di India, khususnya masjid di Malabar. Pertimbangnnya, batu nisan yang pernah ditemukan di Gresik juga berasal dari India (Gujarat). Selain itu, Masjid Kashmir dari kayu juga perlu dipertimbangkan.

Anjuran untuk merujuk ke bangunan India yang ditawarkan Graff ditampik arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto. Meskipun atapnya sama (tumpang), menurut Wirjosuparto, denah masjid di Malabar itu persegi panjang dan tidak dikelilingi oleh air. Ia menegaskan, asal-usul masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya, denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid.

Kalau ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat, sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo. Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, ''mandhapa'', erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India.

Juga sulit menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia menjadi bangunan terpenting. Selain itu, hipotesis joglo juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.

Yang terakhir adalah hipotesis ilmuwan Prancis, Claude Guillot (1985), dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise. Ia menyimpulkan, arsitektur masjid Jawa dipengaruhi secara kuat oleh arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di Cina.

Adapun untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap "cungkup" kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya, lebih dulu yang mana: masjid atau cungkup? Apalagi atap cungkup jarang yang tumpuk, kecuali pada atap cungkup makam Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur.

Kalau demikian, dari manakah asal-usul masjid Jawa itu? Jalan masih panjang untuk sampai pada teori yang paling meyakinkan tentang asal-usulnya. Masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kongkret lagi, baik bukti arkeologis, sejarah, maupun argumentasi arsitektur.

Mungkin yang paling prospektif untuk ditelusuri adalah pandangan yang menyebutkan bahwa masjid Jawa, rumah Tuhan yang beratap tumpang itu, berasal dari bangunan lokal yang diadaptasikan.

*Peneliti arsitektur masjid Nusantara, dosen arsitektur ITB, baru saja telah menyelesaikan program doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang

[Informasi]: Pandangan Serong Terhadap Masjid


Oleh: M. TAJUDDIN M. RASDI
Sumber: Utusan Malaysia

SEJARAWAN Barat telah menginterpretasikan idea masjid daripada perspektif `seni bina' dan `bangunan keagamaan' yang terhad. Tulisan mereka disaluti dengan agenda-agenda peribadi serta cita rasa masing-masing yang dibuat dalam rangka budaya agama Kristian-Yahudi.

Mereka juga berpendapat bahawa hadis-hadis tidak boleh dijadikan asas memahami konsep seni bina masjid kerana Rasulullah merupakan seorang individu yang tidak `bertamadun' serta mementingkan pandangan peribadi menentang nilai seni bina yang tinggi.

Isu Definisi Seni Bina

Sikap pertama daripada tiga sikap sejarawan Barat ialah pandangan yang mengatakan, oleh sebab tidak terdapatnya bahan-bahan yang berupa `kesenian tinggi' seperti arca, lukisan dan bangunan hebat-hebat di dunia Arab pada zaman Nabi Muhammad s.a.w maka bolehlah dianggap kesemua orang Arab, termasuk Rasulullah, sebagai uncultured ataupun tidak bertamadun.

Pandangan ini dapat dilihat melalui kata-kata K.A.C. Creswell, salah seorang ahli sejarah seni bina Islam yang terkemuka, di dalam bukunya, A Short Account Of Islamic Architecture.

Pada zaman kelahiran Islam, Jazirah Arab tidak mempunyai apa-apa jenis bangunan yang boleh disifatkan sebagai `seni bina'. Hanya segelintir penduduknya menetap di sesuatu kawasan dan mereka tinggal di dalam bangunan yang boleh disifatkan sebagai pondok-pondok buruk.

Creswell telah membuat definisi sendiri terhadap apa yang dinilai sebagai ciri-ciri ketamadunan sesuatu masyarakat, iaitu melalui kewujudan peninggalan yang diiktirafkan sebagai mempunyai unsur `kesenian'. Masalahnya ialah apa yang dinilaikan sebagai masyarakat bertamadun atau `seni' tidak semestinya boleh diterima umum.

Misalnya, Syed Qutb, di dalam bukunya, Milestone, memberi definisi bahawa ciri terpenting masyarakat yang bertamadun ialah kewujudan nilai-nilai kemanusiaan yang terbaik dan bukannya penghasilan kebendaan atau kedudukan ekonomi. Seperti juga ungkapan `seni', Islam tidak boleh memisahkan nilai-nilai serta kod etika sosial daripada definisi seni semata-mata untuk menghasilkan sesuatu objek yang `cantik'.

Isu Penggunaan Hadis

Sikap kedua pula berkait dengan penggunaan hadis bagi pentakrifan konsep asal masjid. Ada sejarawan mengetepikan sama sekali koleksi hadis berkenaan seni bina Islam dengan membuat kesimpulan umum bahawa koleksi itu merupakan `cita rasa' Nabi Muhammad s.a.w dan tidak layak untuk diambil kira langsung. Sikap ini dapat dilihat menerusi pandangan John D. Hoag di dalam bukunya, Islamic Architecture.

Di dalam biografi mengenai Muhammad, Ibn Sa'ad telah merakamkan cerita daripada Abdullah Ibn Yazid yang mengunjungi Madinah pada 707 Masihi iaitu semasa kamar-kamar rumah Nabi masih ada. Di sana, Abdullah telah bertemu dan berbual dengan salah seorang cucu lelaki janda Muhammad iaitu Um Salama.

Um Salama telah menceritakan kepada cucunya itu bahawa pada suatu ketika, dia telah membesarkan kamarnya dengan batu bata semasa Nabi Muhammad s.a.w. dalam perjalanan ke Duma pada tahun 626 Masihi.

Sekembalinya Nabi Muhammad dari perjalanannya, baginda menegur Um Salama. Wahai Um Salama! Sesungguhnya, salah satu daripada pekerjaan yang tidak menguntungkan dan menelan harta kaum Muslimin ialah pembinaan.

Pandangan ini nampaknya dipegang kuat oleh para Khulafa al-Rashidun sehinggakan K.A.C. Creswell mencadangkan bahawa Jazirah Arab pada waktu itu tiada apa-apa langsung hasil seni bina dan perkataan `Arab' tidak patut dikaitkan langsung dengan seni bina Islam.

Penggunaan satu hadis ini yang terasing daripada perbincangan luas mengenai apakah sebenarnya jiwa keislaman adalah suatu kaedah biasa yang digunakan untuk mematahkan usaha mengaitkan hadis dengan seni bina Islam.

Cara tafsiran hadis juga terkeluar daripada kaedah yang digunakan oleh ulama Islam. Yang penting bagi Hoag ialah menggambarkan bahawa Nabi Muhammad tidak sukakan kehidupan yang mementingkan kebendaan dan kemegahan yang dapat ditonjolkan melalui seni bina. Dengan itu pandangan baginda dalam hadis tersebut hanyalah perasaan peribadi dan tidak patut dijadikan asas definisi seni bina Islam. Bagi umat Islam, hadis ini cuma menggambarkan betapa berjimat cermatnya Nabi Muhammad dalam perbelanjaan hidup yang melebihi daripada kesederhanaan.

Baginda ialah contoh utama yang mengajar umat Islam bahawa kehidupan di dunia bukanlah kekal dan usaha yang berlebihan seperti dalam pembinaan bangunan untuk tujuan kemegahan merugikan wang ringgit dan masa yang terhad di dunia ini.

Definisi Seni Bina Keagamaan

Masalah ketiga berkaitan dengan pemahaman bahawa setiap masyarakat beragama mestilah mempunyai apa yang didefinisi sebagai `rumah tuhan' atau `rumah ibadat'.

Oleh sebab Masjid Nabi digunakan untuk pelbagai aktiviti maka ia tidak layak menjadi konsep `rumah suci' dan masjid sebenar hanya muncul apabila Nabi wafat dan rumahnya menjadi tumpuan ramai atas sebab-sebab sentimen kerana kewujudan makam baginda di sana. Pandangan ini dirakamkan oleh Creswell.

Tiada ada apa-apa perubahan yang berlaku ke atas rumah Nabi Muhammad ketika kewafatannya pada 8 Jun 632 Masihi. Dia telah dikebumikan di dalam bilik yang didiaminya semasa hayatnya. Rumahnya belum lagi menjadi masjid dan transformasi ke arah itu memakan masa agak lewat. Rumah Nabi Muhammad itu nampaknya masih digunakan sebagai `rumah' pada zaman Khalifah Abu Bakar yang menggunakan ia seperti apa yang telah diperlakukan oleh Nabi Muhammad.

Ia masih sebuah `rumah' sewaktu Khalifah Uthman dibunuh di dalam kamar bersebelahan makam Muhammad. Caetani mencadangkan bahawa perubahan status rumah Nabi Muhammad kepada status `masjid' mula berlaku apabila Khalifah Ali mengubah ibu kota negara Islam ke Kufa, dan Madinah menjadi sebagai wilayah jajahan.

Pada waktu inilah rumah Nabi Muhammad dianggap sebagai masjid kerana ingatan penduduknya kepada Nabi Muhammad meningkatkan status rumah itu kepada bangunan suci yang mana ia menjadi tempat separuh daripada isi al-Quran diterima sebagai rumahnya selama 10 tahun dan akhir sekali sebagai makamnya.

Anggapan bahawa sesuatu model `rumah ibadat' atau `rumah tuhan' juga wujud buat masyarakat Islam tidak boleh diterima sekali gus kerana Islam tidak memisahkan antara apa yang sekular dan apa yang keagamaan atau apa yang fizikal dan apa yang spiritual.

Secara ringkasnya, banyak pandangan ini berasaskan suatu anggapan bahawa masjid yang hebat-hebat dalam sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad dan para Khalifah al-Rashidun merupakan contoh terbaik konsep masjid yang sebenar.

Oleh sebab hadis menolak pembinaan yang berunsurkan kemegahan dan perlumbaan bagi membina bangunan yang lebih hebat daripada bangunan rakyat yang ditakluki Islam, para penulis lebih mudah menolak koleksi hadis daripada cuba menggunakannya untuk menyokong pandangan mereka.

Sikap mereka juga didorongi dengan definisi 'seni bina keagamaan' dan takrif `rumah ibadat' serta `rumah tuhan' yang disifatkan sebagai mempunyai kesamaan umum dalam tiap-tiap agama.

Akhir sekali, sikap mereka juga didorongi dengan definisi istilah 'ibadat' yang dianggap sebagai suatu perkataan yang bermaksud ritual keagamaan khusus dan menolak kemungkinan definisi 'ibadat,' juga merangkumi kegiatan-kegiatan atau perbuatan yang mereka anggap sebagai sekular.

Friday, September 15, 2006

[Informasi]: Hiasan Sajadah


Oleh: Adhika Bayu Pratyaksa


Berbicara mengenai dimensi ruang shalat atau ukuran shaf, mau tak mau kita akan teringat dengan sebuah benda bernama sajadah. Tidak hanya digunakan sebagai alas shalat ketika di rumah sendirian, ada pula masjid-masjid yang menempatkan sajadah sebagai batas shaf shalat. Atau dengan menggunakan karpet sajadah. Karpet sajadah ini lebih panjang dari rata-rata sajadah yang hanya selebar 60 atau 70 cm, biasanya antara 3 sampai 4 meter. Namun pola hias di dalamnya dibagi-bagi seperti layaknya sajadah satuan, sehingga dari jauh akan tampak seperti sajadah-sajadah yang disusun sepanjang shaf shalat.

Ragam hias sajadah yang banyak beredar memiliki "pakem" tersendiri. Biasanya jalinan benang yang disulam di atas sajadah membentuk gambar masjid, kubah, atau mihrab dengan pembatas berupa kolom/tiang di kanan kirinya. Walaupun ada juga yang menggunakan pola geometris maupun tumbuhan.

Ragam hias sendiri bukanlah suatu hal yang tabu untuk digunakan dalam Islam. Namun karena Islam cenderung melarang gambar manusia dan binatang, ragam hias yang berkembang adalah ragam hias dengan pola geometris atau pola tumbuhan. Ragam hias dengan pola tumbuh-tumbuhan ini biasanya berbentuk mirip sulur-sulur atau dedaunan. Ragam hias dengan pola geometris lebih jamak digunakan dalam seni bina bangunan baik di Timur Tengah, Andalusia, hingga ke Indonesia.

Penggunaan ragam hias dalam sajadah menurut kami merupakan hal yang membutuhkan
perspektif yang berbeda. Sajadah ditinjau dari fungsinya merupakan alas untuk sholat. Faktor penting dalam sholat adalah hadirnya rasa khusyu'. Motif indah dan menarik yang dibuat oleh para produsen sajadah berpotensi untuk mencuri perhatian orang yang sedang sholat. Ketika berbicara dalam konteks sholat berjamaah, maka penggunaan sajadah pada ruang shalat seperti masjid dan musholla berpotensi menyebabkan tidak rapatnya shaf dalam shalat berjamaah.

Masjid atau musholla yang menggunakan karpet sajadah atau rangkaian sajadah satuan untuk menegaskan area shalat dalam tiap shafnya biasa mengalami kerenggangan shaf shalat. Berbeda dengan masjid atau musholla yang menggunakan karpet tanpa ragam hias. Jadi masalah utamanya di sini sebenarnya adalah ragam hias yang terdapat pada sajadah. Ragam hias yang memiliki pola seperti sajadah satuan akan cenderung membuat jama'ah sholat membatasi diri pada "area sholat" miliknya saja. Akibatnya shaf sholat yang seharusnya rapat tumit dengan tumit, bahu dengan bahu, menjadi longgar.

Jama'ah yang belum mengetahui dengan baik mengenai keutamaan rapatnya shaf akan cenderung untuk bertahan pada ruang yang telah ditentukan layaknya sajadah satuan. Walaupun pada jamaah yang telah mengerti tentang keutamaan rapatnya shaf akan cenderung untuk merapatkan barisan dengan tidak mempedulikan batasan tersebut. Akibatnya, satu shaf sholat yang semestinya muat untuk tiga puluh orang hanya terisi dua puluh orang.

Maka ragam hias terbaik untuk digunakan dalam sajadah adalah yang tidak berpotensi
menganggu kekhusyu'an dan tidak berpotensi melonggarkan shaf sholat. Ragam hias ini dapat memakai motif geometris maupun tumbuhan, namun dalam dimensi yang kecil sehingga tidak menganggu kekhusyu'an. Ragam hias sajadah yang baik untuk digunakan di masjid dan musholla juga tidak mengkotakkan setiap jama'ah dalam satu kapling tersendiri.

Beberapa contoh yang baik yang pernah saya lihat adalah karpet sholat yang digunakan di Masjid Departemen Pertanian Ragunan dan Masjid Abu Bakar di Puncak Dieng, Malang. Ragam hias yang digunakan pada karpet kedua masjid tersebut berpola geometris dan berukuran kecil,
sehingga dari jauh hanya nampak sebagai satu warna. Satu hal yang beda, di Masjid Deptan garis shaf menggunakan karpet polos yang berbeda warna, sedangkan di Masjid Abu Bakar garis shaf telah menjadi satu kesatuan dengan ragam hias karpet. Tipis, hanya membentuk sebagai garis dari kejauhan, namun terlihat polanya apabila kita berdiri di atasnya.

Namun karpet dengan kualitas seperti itu entah mengapa tidak banyak digunakan oleh masjid dan musholla. Para produsen sajadah dan karpet sholat untuk masjid pun sampai saat ini masih berlomba-lomba menelurkan desain terbaik mereka dengan tidak mempertimbangkan aspek khusyu' dan rapatnya shaf. Bahkan ada desain yang menggunakan gambar binatang, walaupun kecil. Tampaknya, menjadi tugas kita bersama untuk menyadarkan masyarakat akan hal ini. Apalagi sholat merupakan amal sholeh pertama yang akan dihisab oleh Allah swt di hari akhir
nanti.

Foto:

1. Sajadah Ikan, mungkin si Mbak-nya belum tahu bahwa motif binatang sebaiknya tidak digunakan
dari http://thehohos.blogspot.com/2006/05/ada-sajadah.html


2. Karpet Sajadah yang "Mengkapling" Kita
dari http://img.alibaba.com/photo/11530493/Pray_Mat.jpg


3. Sajadah Kepala, motifnya yang sederhana seperti ini lebih tepat kiranya.
dari http://www.alibaba.com/catalog/10855173/Carpet_Mat_Prayer_Mat.html


4. Sajadah Satuan yang biasa dipakai orang.
dari http://itrademarket.com/member/s_218243_pic3.jpg


5. Saya? Kalau di rumah biasa pakai sajadah hadiah dari istri sesaat sebelum nikah. Lampit khas Kalimantan, mirip dengan foto di bawah ini. Atau pakai sajadah "souvenir" dari almarhumah ibu, yaitu sajadah coklat dengan motif "geometris campur sulur" mahar dari bapak saya :)
dari http://www.warsi.or.id/Catalog/Tikar_sajadah_small.jpg

Thursday, September 14, 2006

[Fiqh-ul-Bina']: Penataan Ruang Masjid (Bagian 2)

Foto: Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Banjarmasin

Penghalang, Tiang-tiang, Sutrah, dan Hijab


1. Yang menghalangi antara imam dan makmum
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 26: 2061)

Sah shalat makmum mengikuti imam sekalipun di antara keduanya terdapat penghalang semisal sungai, jalan, dan dinding (yang memang sudah ada di sana sebelumnya/ yang tidak bisa dihindari di saat bershalat), asalkan saja makmum dapat mengetahui gerak-gerik imam bershalat atau dapat mendengar suaranya.

Bukhari menerangkan bahwa Hasan berkata: ''Tidak jadi soal jika kamu bershalat dan antaramu dengan imam ada sungai.''

Berkata Abu Mijlaz: ''Boleh bermakmum kepada imam sekalipun di antara kedua mereka terdapat suatu jalanan atau dinding, asal saja ia dapat mendengar takbiratul ihram dari imam itu.''

Nabi saw pernah bershalat dengan para sahabat sebagai makmum di belakang, sedang beliau berada di dalam bilik rumahnya.

Tambahan dari saya: Para Ulama berfatwa bahwa, bagi yang bermakmum melalui radio dan televisi tidak sah shalatnya. Untuk pengeras suara banyak ulama yang membolehkan. Saya melihat hal ini adalah kehati-hatian dalam mencegah salah persepsi tentang ketentuan di atas di kemudian hari, terutama dijadikan alasan untuk membolehkan memutuskan shaf makmum secara ekstrim.

2. Tiang-tiang (Pilar/ Kolom)
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 27: 2074)

Seseorang itu boleh saja bershalat di antara tiang-tiang masjid, baik ia sebagai imam atau munfarid (shalat sendiri) tapi makruh untuk makmum jika sampai tiang tersebut memotong shaf (kecuali tempat itu sempit, maka tidaklah makruh).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar:
''Bahwa Nabi saw. ketika masuk ke dalam Ka'bah, beliau melakukan shalat di antara 2 tiang'' (Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Anas:
''Kami dilarang bershalat di antara tiang-tiang, bahkan diusir dari tempat-tempat itu.'' (Hakim)

Diriwayatkan dari Mu'awiyah dari ayahnya:
''Kami dilarang berbaris di antara tiang-tiang di masa Rasulullah saw, bahkan kami diusir dari tempat itu dengan keras.''

Dari Qurrah bin Iyas ﻪﻨﻋﷲﺍﻲﺿﺭ, ia berkata :

“Kami dilarang untuk berbaris di antara tiang_tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah, dan lain-lain; dengan sanad shahih).

Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata :

“Aku shalat bersama Anas bin Malik pada hari Jum’at, kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang. Sebagian dari kami maju dan sebagian lagi mundur. Maka Anas berkata : ‘Kami menghindari ini di jaman Rasulullah ﻢﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍﻰﻟﺻ” (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lain-lain; dengan sanad shahih).

Hadits menunjukkan bahwa shaf sebaiknya menghindari jalur yang ada tiangnya, karena hal itu dapat memutuskan shaf. Hal ini dilakukan apabila memungkinkan, yaitu masjidnya luas. Namun apabila sempit, menurut para ulama, tidak apa-apa insya Allah.

Abu Dawud berkata : “Aku telah bertanya kepada Imam Ahmad tentang shalat diantara tiang-tiang”, maka beliau menjawab : “Sesungguhnya hal itu dibenci sebab membuat shaf terputus. Maka apabila berjauhan diantara kedua tiangnya maka aku berharap (tidak mengapa).”

Tambahan dari saya:
Oleh karena itu dianjurkan sebaiknya struktur masjid sebaiknya adalah struktur bentang lebar yang bebas kolom. Namun jika tak bisa dihindari adanya kolom-kolom, maka solusi dari seperti kasus yang saya dapati, ada yang tetap mengisi ruang antar dua tiang atau ada juga masjid yang tidak mengisinya dengan jeda yang dianggap sebagai tempat lalu lalang atau tempat lemari-lemari Kitab (ruang antar dua tiang kosong oleh makmum), namun untuk saya pribadi belum bisa menetapkan mana yang benar. Dan juga untuk kasus jika kolom berdimensi kecil, kali ini saya masih dalam pertanyaan.


Mungkin 2 tiang yang sejajar dengan shaf bisa diterjemahkan tak hanya memotong shaf namun juga membagi ruang secara melintang menjadi 2 ruang yang terpisah, sehingga 2 tiang ini seakan-akan seperti dinding/ barrier antara kedua ruangan, dan oleh karena itu di anjurkan untuk tidak berdiri diantaranya karena itu sama saja berdiri pada dinding. Namun ini masih hanya dugaan (asumsi) pribadi saya saja.

Misal: untuk solusi masjid yang mengadopsi tiang sokoguru yang terdiri dari 4 kolom, maka di depan atau pada ''2 kolom
depan'' dijadikan tempat shalat imam, di antara ''2 tiang kolom'' dan ''2 tiang kolom'' dijadikan tempat sholat makmum, dan untuk di belakang ''2 kolom belakang'' dijadikan halaman berteduh (shelter) ataupun ''suffa'' (tempat belajar mengajar)

3. Sutrah (Pembatas di Muka Orang Bershalat/ Dinding Kiblat)
(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 29)

Seseorang disunnatkan mengadakan Sutrah dimukanya hingga dapat menghalangi orang yang akan lewat didepannya, serta mencegah penglihatannya untuk melihat apa-apa yang dibaliknya. Ulama golongan Hanafi dan Maliki banyak berpendapat demikian, tetapi kalau dirasa aman dari itu, maka tidaklah disunnatkan.

Dari Abu Sa'id, Rasulullah berkata:
''Apabila salah seorang di antaramu bershalat, baiknya ia membuat sutrah di depannya dan hendaklah ia mendekat sutrah tersebut!'' (Abu Daud dan Ibnu Majah)

Dari Ibnu Abbas meriwayatkan:
''Pada suatu ketika Nabi saw. bershalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat suatu apapun.''

Jarak dan Ukuran:
Diriwayatkan bahwa :Rasulullah SAW berdiri di dekat tabir. Jarak antara beliau dengan tabir itu ada 3 hasta/ 1,5 meter. (HR.Bukhari dan Ahmad)

Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana (1 hasta=50 cm) . Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau perempuan atau anjing hitam."

Rupa-rupa Sutrah:
Ia cukup memadai, sekalipun berupa suatu benda yang didirikan oleh orang yang bershalat di mukanya, bahkan walau hanya ujung hamparannya. Misalkan (dari beberapa hadits): anak panah, tombak, tongkat, dinding/ partisi, sebatang pohon, tiang masjid, tempat tidur ataupun hanya sekedar garis.

Tambahan dari saya: Jadi orang yang akan melintas tahu betul wujud batas itu, sehingga menarik diri/kembali atau melintas hanya di balik/ sisi luar batas itu. Jadi yang dipentingkan dari hal ini adalah wujud ''tanda'' atau ''petunjuk''.

Sutrah imam adalah sutrah makmum juga. Jadi sebenarnya sutrah ini hanya disyariatkan semata-mata di depan/ bagi imam atau bagi yang munfarid (shalat sendiri). Maka boleh adanya melintas di depan makmum, namun haram melintas di depan imam maupun orang yang munfarid.

Tambahan dari saya:
Sutrah ini adalah elemen yang sudah pasti sebaiknya dimiliki di setiap masjid. Jika masjid itu ''terbuka'' pada semua atau beberapa penjuru sisi, maka suatu keutamaan untuk diadakan sutrah/ dinding kiblat ini pada sisi depan tempat bershalat.


4. Hijab (Tirai atau Partisi/ Sekat)

“Apabila kamu (laki-laki bukan muhrim) meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tirai/ tabir).” (QS. Al-Ahzab : 53).

Tambahan dari saya: Secara umum ayat ini dipegang dan diterima dengan berpendapat bahwa, jika hanya keperluan biasa pun disyariatkan, maka apalagi untuk keperluan ibadah.

Hijab yang dimaksudkan bukanlah Jilbab. Namun berupa tirai/ sekat/ tabir/ partisi yang berdinding penuh, tidak penuh ataupun tersamar antara shaf laki-laki dan shaf perempuan, yang fungsinya hanya sekedar membatasi penglihatan atau hingga ada yang sampai membatasi pendengaran sekalipun (mereka berpegang pada ketentuan tentang suara wanita adalah aurat).


Pembagian Shaf

(Fiqhussunnah- Sayyid Sabiq, 26: 2063A)

Ketentuan mengenai pembagian shaf antara laki-laki, anak-anak dan perempuan telah disyariatkan oleh Nabi saw. supaya letak antara laki-laki dan perempuan berjauhan sehingga mencegah dari pencampur bauran.

''Bahwa Rasulullah saw. menempatkan kaum laki-laki di muka anak-anak, sedang kaum perempuan di belakang anak-anak itu.'' (Ahmad dan Abu Daud)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
''Sebaik-baik shaf kaum laki-laki ialah yang pertama dan seburuk-buruknya ialah yang terakhir. Sedang sebaik-baik shaf kaum perempuan ialah yang terakhir, dan seburuk-buruknya ialah yang pertama.'' (Bukhari)

Tambahan dari saya:
Tentang pembagian shaf antara laki-laki dan perempuan kanan dan kiri di ruang shalat, tidak ada dalil yang melandasi. Banyak ulama menyatakan pendapat ini sebagai bid'ah yang harus dihindari, karena merupakan bid'ah ibadah.

Wednesday, September 13, 2006

[Fiqh-ul-Bina']: Penataan Ruang Masjid (Bagian 1)

Foto: Masjid At-Tin, Jakarta

Tempat Imam atau Makmum yang Lebih Tinggi
(Pasal 2060A dari Bab 26: Shalat Jama'ah, Fiqhussunnah - Sayyid Sabiq)

a. Makruh hukumnya jika imam berdiri lebih tinggi dari tempat makmum.

''Rasulullah saw. melarang seorang imam itu berdiri di atas sesuatu, sedang makmum berada dibawahnya atau lebih rendah daripadanya.''
(Diriwayatkan oleh Daruquthni, tetapi tidak disebutkan oleh Hafizh dalam buku Al Talkhish)

b. Mubah tempat makmum melebihi ketinggian tempat imam, namun dengan batas ketinggian dan ketentuan lainnya.

Berdasarkan komentar Said Ibnu Manshur, Baihaqi, Syafi'i, dan Bukhari: dari keterangan Abu Hurairah pribadi, bahwa beliau pernah bershalat di sebelah atas masjid dengan mengikuti imam.

Berdasarkan komentar Said Ibnu Manshur pula dari keterangan Annas pribadi bahwa ia pernah bershalat mengikuti imam dalam bilik rumah kepunyaan Abu Nafi' yang terletak di sebelah kanan masjid, berada di ketinggian dan bilik itu memiliki sebuah pintu yang menghadap ke masjid Basrah. Hal ini didiamkan saja oleh para sahabat.

Syaukani berkata: ''Jika tempat makmum itu tingginya melampaui batas, misalnya sampai lebih dari 300 hasta (kurang lebih 150 meter), hingga makmum tidak dapat mengetahui gerak-gerik imam, maka hal itu terlarang menurut ijma' ulama, dan dalam hal ini tak ada perbedaan, apakah tempat itu masjid ataukah lainnya. Tetapi bila tidak sampai 300 hasta, maka menurut asal hukumnya boleh saja sebab memang tidak ada dalilpun yang melarangnya. Hal ini dikuatkan oleh perbuatan yang pernah dilakukan oleh Abu Hurairah sebagaimana tersebut.''

***

Ulasan dari saya:


Ketentuan ini benar adanya dari contoh kasus model beberapa bangunan untuk bershalat (masjid) bertingkat yang dimiliki bangsa arab dan turki yang saya lihat di Jerman ini maupun yg diterapkan di Masjidil Haram. Di mana perluasan tempat sholat secara vertikal adalah ke atas bukan ke bawah. Lantai atas biasanya dipakai untuk jamaah perempuan atau bisa digunakan pula untuk makmum jum'at. Sedangkan tempat imam tetap berada di lantai dasar.

Namun ruang di atas biasanya dan sebaiknya masih bersifat terbuka, adalah ia berupa ruang yang memiliki lubang (void) atau ruang berlevel-level seperti layaknya tribun atau dengan penyelesaian arsitektural lainnya, sehingga makmum diatas masih mengetahui gerak-gerik imam atau mendengar imam. Atau dikondisi tertentu makmum hanya mampu mendengar seorang pemberi isyarat melalui suara (bilal atau adalagi yang menyebutnya dengan mubalig). Untuk kasus-kasus tertentu di masa kini banyak yang menggunakan peralatan audio maupun visual.

Untuk masalah shaf yang terpotong/ tak bersambungan akan menjadi perdebatan. Apakah ketentuan jarak 300 hasta bisa dijadikan batas ketentuan? Wallahu a'alam. Tapi yang pasti, bershalat di rumah dengan mengikuti imam di televisi tentu saja menjadi gurauan belaka.

Kekhilafan yang perlu diperbaiki dan dilengkapi terjadi di masjid-masjid di Indonesia, terutama yang saya temui di beberapa masjid baru yang bertingkat di Jakarta, dimana di lantai bawah terdapat ruang serbaguna (multi use room/ bukan ruang sholat formal). Kekhilafan itu terjadi pada saat ruang serbaguna itu digunakan juga untuk makmum jum'at/tarawih atau makmum perempuan shalat ied, namun tempat imam tetap berada diatas, yaitu ruang sholat formal/ masjid yang berada di atasnya.

Sebaiknya kebiasaan ini dirubah dengan solusi: jika ruang serbaguna dibawahnya digunakan untuk bersholat juga, maka tempat imam sebaiknya diturunkan ke ruang tersebut untuk kemakruhan tercegah.

Makruh yang berbilangan adalah biangnya untuk berbuat haram!

... to be continued ...

Tuesday, September 12, 2006

[Studi Ilmiah]: Image, Text, and Form : Complexities of Aesthetics in an American Masjid


By: Dr. ‘Akel Isma‘il Kahera

The Debate

The aesthetic features of the American masjid can be codified under the rubrics of image, text, and form.[1] These three features suggest an anachronistic language corresponding to the use of ornament, inscription, and architectural form. The occurrence of image, text, and form, therefore, prompts an inquiry that must address two pivotal thematic assumptions:

1. The primacy of prayer (salat) is a necessary criterion in determining the characteristics of a liturgical space suited for the American environment.[2]

2. The embellishment of a space for salat is a contingent matter. Although ornament, inscription, and architectural form have been nuanced as an integral aspect of the aesthetic language of a masjid, these features are essentially independent of any ritual demands.

Both assumptions provide the scope to study the aesthetic language of the American masjid apropos of the complexities of ornament, inscription, and architectural form. But we encounter, with regard to the second assumption, a recurring use of an extant aesthetic precedent. In the history of Muslim architecture, we come upon instances in which the aesthetic features of an extant masjid has influenced a succeeding structure. There are exceptions to the foregoing premise, and the question of the degree to which an extant masjid can be considered in the classification of the American masjid is further complicated by the absence of documented history.[3] In addition, the features of the American masjid appear to be directly related to the phenomenon of a Muslim Diaspora. When building a masjid, the Diaspora community ascribes emotional value to the utilization of a well-known convention or an influencing custom from the Muslim world. The history of Muslim architecture is, therefore, a key consideration for an architect who aims to gratify a Muslim client. There are problems with the indiscriminate use of a well-known convention or an influencing custom. In attempting to replicate extant features from the past, the architect invariably produces a de facto facsimile whose aesthetics are severely compromised. For example, truckers were overheard commenting on their short wave radios as they drove past the masjid in Toledo, Ohio, which was under construction at the time. One trucker, responding to his friend who had asked him about the structure of the masjid, remarked that “it must be a new Mexican restaurant or something!”[4]

We may forgive the naïveté of the trucker inasmuch as he is not expected to recognize the appearance of a masjid. His comment, however, reinforces the following point: In our inquiry, the aesthetic features of an American masjid must be thoughtfully examined with respect to the idiosyncratic usage of image, text, and form. In the discourse that follows, these features will be examined, with particular attention given to the idiosyncratic treatment and the usage of image, text, and form.

The first debate examines the heterogeneous use of image. In the American masjid, image is appropriated in an anachronistic manner; it is used as a display of ornament without regard to time or context. Image is essentially concerned with satisfying an “emotional” condition that has historical efficacy to the immigrant Muslim community. The appropriation of a familiar image vividly evokes a mental picture or an apparition that closely resembles an extant form, object, or likeness emanating from the past.[5]

The second debate examines the appropriation of form. Architects have re-interpreted multiple geometric forms and spatial elements found in various extant models and decorative conventions. The intent is to produce a new aesthetic language that will be appropriate to the American environment. Inasmuch as the interpretation of form falls under the purview of the architect, the divergent ways in which architects have interpreted the architectural features of an extant model or decorative convention make an intriguing study. It should be noted that the attributes of form are distinct from those associated with image. Unlike image, form is concerned with the “ordering” of a design program for a masjid, and the production of a ‘coherent’ site condition. The interpretation of form is further complicated by the nuances of American architectural practice. For instance, architectural pedagogy considers form to be the shape, structure, and pattern of an object or the “secular” mode in which an object exists, acts, and manifests itself by derivation and by composition.[6]

The third debate examines the use of epigraphy; it concerns the treatment of textual inscriptions in a masjid. Because textual inscriptions have customarily been sanctioned in religious buildings in the Muslim world, it is an aesthetic convention that appeals to the Diaspora community as well. The use of epigraphy is further complicated by the fact that the linguistic makeup of the American congregation is very different; most American Muslims are non-Arabic speaking. Hence, the utilization of Arabic inscriptions in an American masjid raises several issues: Is the purpose of a pious inscription simply to evoke a “symbolic charge”—a term I borrow from Professor Oleg Grabar—or is it intended to be decorative, and a means to enhance the image of a structure or merely to adorn a wall?. Who reads the text of the inscription? Would a masjid with a pious inscription be more “reverent” than a masjid lacking an inscription? These issues are all equally provocative and deserve further discussion, for they are relevant to the ensuing discourse. I will return to them.

An overriding debate deals with the production of an image. Within a climate of uncommon architectural language, where extremes of architectural diversity exist, the meaning of an image can only be fostered only through use of one or more aspects of a “known” architectural convention. Since the immigrant community views Muslim “religious” architecture to be clearly more homogeneous than Western architecture, the use of a “known” architectural convention takes precedent. I would, however, hasten to add that the study of art and architecture anywhere, or indigenous to any culture, is cognizant of internal variations and aesthetic complexities.[7]

By reanimating an image from the past, the first generation of Muslim immigrants from the Middle East and the Indian subcontinent, have held firmly to the production of a recognizable religious image.[8] The utilization of a “religious image” gives outward expression and meaning to the presence of an Islamic practice in North America.[9] A recognizable image imparts, beyond the aspect of a place for communal worship, identity, and also produces an emotional charge. Emotions and sentiments are, therefore, evoked through the agency of memory; despite geographical, historical, and chronological nuances, the features of an extant image, when reanimated, become a common aesthetic ethos and is happily embraced by the community.[10] By recalling an image from the past, one no longer remains in an alien environment, but becomes part of an environment where belief and emotions are nourished by familiar aesthetic themes.
... [more]